Tidak ada kata Candu untuk Merindu.
__________
Sepasang kaki melangkah memasuki lift yang lenggang, tubuhnya merapat ke dinding lift. Bibir itu terus melengkung ke atas mengingat Arka yang mematuhi perjanjiannya. Sebenarnya itu hanya gertakan. Setelah kejadian lalu, Ia sudah sangat jarang bersama Galen. Pernah sekali ia berpapasan di kampus, Galen terlihat berjalan pincang. Reva sangat ingin bertanya apa yang terjadi. Tapi, Galen langsung pergi dan mengacuhkannya.
Denting berbunyi, menandakan lift berhenti dan sudah tiba di lantai yang di tuju. Reva berjalan keluar dari lift dan cepat-cepat menuju ke apartemen Arka.
Di ketuknya pintu kamar Arka. Dan pemiliknya pun langsung membuka pintu.
"Ada apa?" Tanya Arka tanpa menunjukkan ekspresi apapun.
"Aku mau masuk." Ujar Reva dengan senyuman yang tidak memudar sedari tadi.
"Maaf, Reva. Kau pulang saja." Arka langsung menutup pintunya tanpa memperdulikan jawaban Reva.
"Arka!! Arka!!" Reva mengetuk pintunya berkali-kali, tetapi Arka tidak kunjung membukanya. "Ah, menyebalkan. Aku bosan sekali." Dengan terpaksa ia pergi menjauh dari apartemennya. Sambil berjalan, Reva memainkan ponselnya berniat untuk menghubungi Leo. Reva sangat rindu dengan sahabatnya itu. Sudah lama juga tidak bermain bersama.
Ia memposisikan ponselnya di telinga menunggu jawaban telepon dari Leo.
"Hallo, Leo. Kita pergi kencan yukk." Ucapnya setelah panggilan tersambung. Kata Kencan yang sudah sering mereka ucapkan ketika ingin pergi bersama.
'Maaf, Reva. Aku sedang sibuk.' Leo memutus sambungan teleponnya.
Tutt tutt tutt...
"Ishh, apanya yang sibuk. Ini kan hari minggu, Leo akhir-akhir ini berubah." Reva menghentakkan kakinya kesal. "Dia juga jadi lebih sering bersama Anita. Ah, aku benci sekali dengan Gadis itu. Bisa-bisanya setelah jauh dari Arka dia mendekati Leo. Murahan sekali, you bitch!" Kakinya melangkah masuk ke dalam lift dan memencet tombol B (Basement).
_________
"Sebelahmu, Anita!"
"Ah, shit! Mati kau, monster sialan!"
"Ayo cepat kita lari, lari Anita lari. Abaikan saja, ayoo cepat!"
"Arghhh!! Menyebalkan."
"Sudah kubilang lari, kau malah terus melawan. Ck!"
"Kau bodoh, kenapa meninggalkanku?! See? Now i'm dead." Anita melempar controller games-nya karena kesal karakter dalam games-nya harus mati dan kalah.
"Yes, you died of your own fault, you fool. Sudahlah aku lelah bermain dengan orang pemula sepertimu." Ujarnya menaruh controller di depannya.
Anita mengambil bantal di dekatnya dan melemparnya pada orang di sebelahnya. "Sialan kau, Leo."
"Ah, bantalmu bau air liur." Leo melempar balik bantalnya pada Anita.
Bantal itu tepat mengenai wajahnya. "Terkutuk kau, brengsek!"
"Coba kau cium bantalmu."
Anita menurut dan mencium bantalnya. "Ahh, kau benar. Ini bau, Hahaha."
Leo menatapnya sinis. "Menjijikkan." Ada perasaan senang saat melihat Anita tertawa lepas seperti ini. Pasalnya sejak seminggu yang lalu, saat Anita menceritakan jika mereka sudah putus. Mata Anita selalu sembab karena banyak menangis. Cukup sulit untuk Leo mengembalikan mood-nya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑴𝒚 𝑷𝒓𝒊𝒏𝒄𝒆 𝑰𝒔 𝑨 𝑷𝒊𝒂𝒏𝒊𝒔𝒕 | 𝘃𝘀𝗼𝗼 [End]✓
Romance𝐌𝐚𝐭𝐮𝐫𝐞 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐞𝐧𝐭 21+ •Scene at a Glance• 𝙎𝙚𝙢𝙪𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙢𝙪𝙡𝙖 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙗𝙪𝙖𝙝 𝙡𝙖𝙜𝙪 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙟𝙪𝙙𝙪𝙡 𝙂 𝙈𝙞𝙣𝙤𝙧 𝘽𝙖𝙘𝙝. Kemampuan jari-jarinya terhadap tuts Piano itulah yang paling Anita suka. Tapi, Ketertarik...