Hukuman

88 12 5
                                    

Dua ruang toilet wanita berhasil Ghea bersihkan, tinggal tersisa tiga lagi. Gadis itu menghela nafas berat, sesekali merutuki Gilang yang membuatnya dihukum seperti ini. Telat bukanlah jalan ninja Ghea, bahkan mendapat hukuman tidak termasuk dalam buku jurnalnya. Ia mengencangkan kuncir rambutnya yang sedikit kendur, kemudian melanjutkan aktivitasnya kembali dengan senyuman, berusaha ikhlas menerima takdir Tuhan ini. "Sabar, Ghea. Anggap aja ini kerja bakti antar warga."

"Lama."

Siluet pria bertubuh tinggi menghalangi sinar lampu yang masuk melalui pintu toilet. Ghea menoleh, mendapati Gilang tengah bersender di pintu toilet wanita. Geram, Ghea pun menendang ember yang berisi air pel membuatnya muncrat ke mana-mana. "Bukannya bersihin toilet cowok, malah berdiri di situ!"

"Hukuman gue dah beres dong," seketika Rio dan Reza muncul di belakang Gilang, melemparkan smirk ke arah Ghea yang membuatnya semakin kesal.

"Gak adil! Hukuman gini doang masa minta bantuan jin, lemah!"

"Jin? Elu jin?" tuding Rio ke arah Reza. Disambut toyoran sederhana dari Reza membuat Rio meringis.

"Elu setan!"

"Wah, sekarang lu bertiga jadi kang jaga toilet cewek ya?" ujar Febi di belakang mereka. Gadis itu melipat tangan di dada, wajah datarnya tetap saja membuat Reza terpesona.

"Awas, awas tuan putri mau pipis." Febi mengibas-ibaskan tangannya guna mengusir tiga idiot itu dari hadapannya. Tentu saja mereka mempersilahkan Febi masuk.

"Feb, lantainya masih bas-"

Brukk..

Febi terpeleset, dengan posisi bokong yang mendarat terlebih dahulu. Gadis bermata coklat itu lantas meringis menahan panas yang menjalar di bagian bawah tubuhnya.
Tiga idiot itu hanya terkekeh, tanpa ada satu pun yang tergerak untuk menolong Febi.

"Aduh, Feb. Kan Ghea bilang juga apa, hati-hati."

"Lu bahkan gak bilang apa-apa, Ghea!" Febi berusaha berdiri dengan kakinya sendiri, namun sebuah tangan meraih tubuhnya.

"Gue bantu." Masih dengan raut wajah seolah menahan tawa, Reza membantu Febi untuk bangkit. Namun gadis itu dengan sigap menepisnya.

"Ehh, ikan cupang. Lu gak usah sok care ya sama gue! Lu aja ngetawain gue tadi!"
Akhirnya Febi mampu berdiri tanpa bantuan siapapun. Ia berjalan seperti nenek-nenek abis lahiran memasuki toilet untuk membuang urin.

Kini, giliran Ghea yang menatap Gilang tajam. Seolah meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah pria itu lakukan. Matanya semakin menyipit, menelisik ke dalam manik milik Gilang. Pria itu mulai salah tingkah, sesekali ia mengalihkan pandangan pada Rio yang sedang menggali harta Karun di hidungnya.

"Yaudah iya gue bantu."

***

Pulang sekolah, Febi masih saja memegangi bokongnya yang mungkin retak, benturan cukup keras membuatnya seperti akan melahirkan. Ia sudah tak kuat berjalan lagi, menyusuri lorong pun seperti lari marathon keliling dunia. Jadwal piket hari ini membuatnya tidak bisa pulang bersama teman-temannya. Melissa si sadgirl itu tidak mungkin mau menunggu Febi menyapu lantai.
Sekolah mulai sepi, hanya tinggal beberapa siswa kurang pintar yang kalah cepat menjawab pertanyaan dari guru sehingga pulang paling terakhir. Termasuk Reza, pria itu menunggu Febi di ujung lorong kelas. Tentu saja Febi kesal, kenapa makhluk itu malah nangkring di sana? Tidak kah terlintas di otak kecilnya untuk membantu Febi berjalan? Sialan.
Tiba di depan Reza, Febi memilih untuk mengabaikannnya. Pria berhoodie hitam itu pantas mendapatkannya.

"Feb, gue orang bukan pohon palem. Kok lu cuekin sih?"
Seolah tak mendengar komplenan Reza, Febi terus berjalan menuju gerbang dengan tangan menyangga pinggangnya agar beban tidak tertumpu pada bokong malangnya. "Feb," Reza memberanikan diri meriah tangan Febi. Membuat gadis itu menoleh dengan raut wajah siap menerkam apa saja yang ada di depannya.

"Mau apa lo?" tanya Febi kasar.

"Yaudah iya, maaf. Pinggang lo masih sakit?"

Sungguh pertanyaan yang tak perlu dipertanyakan. Reza semakin membuat Febi gemas. "Menurut lo?"

"Masih sakit."

"Kalo udah tahu ngapain nanya?"

"Kan memastikan."

Sudahlah, Febi lelah. Berdebat dengan keturunan Abu Jahal tak akan ada habisnya. Febi kembali berjalan meninggalkan Reza di belakangnya.
Namun siapa sangka, tubuh Febi terangkat. Ia reflek mengalungkan tangannya pada leher Reza menatap pria itu dari bawah. "Jalan lu lama, gue cape liatnya."

Tak ada balasan dari Febi. Gadis itu masih berusaha mengontrol detak jantungnya yang seperti pacuan kuda. Parfum Reza memaksa menerobos hidung mungil Febi, membuatnya semakin terbuai dengan keadaan ini.

"Pulang naik taksi aja, takutnya nanti kalo naik motor pinggang lu copot di jalan. Trus nanti usus lu acak-acakan di jalan, mau?"

Bugg...

Febi memukul pelan dada Reza, membuat pria itu menghentikan langkahnya dan menatap Febi tajam. "Sembarangan kalo ngomong."

"Gue lempar ke laut lu ya?"

"Lempar aja, siapa takut!"

"Nantangin ni orang."

Reza tidak main-main dengan perkataannya, ia pun memberhentikan taksi di jalan dan melempar Febi masuk ke dalamnya.

"Ancol ya, pak," ujar Reza pada supir taksi. Febi terbelalak dibuatnya. Reza benar-benar akan membuangnya ke laut. Mobil melaju dengan kecepatan sedang.
Sedangkan Febi berusaha membujuk Reza agar mengurungkan niatnya. Namun Reza tetaplah Reza, pria keras kepala itu tetap akan membuang Febi ke laut agar gadis itu tahu bahwa Reza Bian Fahlevi tak pernah main-main dengan ucapannya.

Comment for next chapter!!

Keselek Cinta Gadis IPS (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang