Sunset

109 10 4
                                    

Beruntung sekali, setibanya di pantai Ancol bertepatan dengan tenggelamnya sang Surya. Febi keluar sendiri dari taksi berwarna biru itu. Kedua sudut bibirnya terangkat di kala manik coklatnya menatap keindahan sang Surya. Namun, ia harus ingat kedatangannya ke mari untuk ditenggelamkan bukan menikmati sang fajar menghilang. Febi kembali memasang raut cemberut, rasa sakit di bokongnya sudah tak ia pikirkan. Yang terpenting adalah bagaimana caranya lepas dari Reza, psikopat itu benar-benar menyebalkan.
Setelah membayar upah sang sopir, Reza menarik pelan tangan Febi, mengajaknya berjalan ke arah bibir pantai. Febi menghela nafas berat, berdosa dalam hati semoga besok matahari masih mau menemuinya.

Tumpukan pasir menyulitkan langkah mereka, bibir pantai dengan ombak yang tak cukup besar menyapu haluan.
"Za," panggil Febi lirih. Pria di hadapannya itu lantas menoleh. "Lu serius mau buang gue ke laut?"

Reza terkekeh kecil, lalu menarik Febi mendekat ke arahnya. Kedua tangan gadis itu ia genggam. "Gue gak mau lu mencemari lautan."

Febi berdecak kesal, raut wajahnya kesal mendengar pengakuan Reza barusan. Tangannya ia rampas dari genggaman, menjauh beberapa langkah dari Reza. "Pulang!" teriaknya. Gadis itu membalik badan hendak meninggalkan pantai yang beberapa langkah lagi ia gapai.

"Lu gak mau liat sunset?" Febi menghentikan langkahnya. Tawaran Reza ada benarnya juga. "Sama orang ganteng?"

Untuk kalimat yang kedua, Febi sedikit setuju. Orang ganteng tapi gila. "Yaudah ayo!"

***

Dua sejoli itu terduduk di dinding pembatas antara daratan dan pantai. Menikmati desiran angin dan indahnya sinar kekuningan dari sang Surya yang perlahan tenggelam. Febi memejamkan matanya, udara ia hirup kuat-kuat, sangat menyejukkan. Rambut panjang yang terikat rapi ikut terhempas. Reza hanya tersenyum. Selain sunset yang indah, senyuman tulus Febi juga tak kalah menggoyahkan iman. Namun sayangnya Reza belum dianugerahi keberanian untuk mengungkapkannya. Entahlah, Reza pun bingung antara mengungkapkan atau memendam. Ia takut, Febi tak bahagia dengannya. Mengingat beberapa waktu terakhir Febi sering dibuat menangis karenanya.

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, kedua anak sekolahan itu masih asyik bermain pasir, membangun sebuah istana dengan bentuk.. ahh sudahlah.

"Njir lu buat apaan?" Masih dengan seragam putih abu-abu, Febi duduk bersila di pasir pantai tanpa alas. Tangannya sibuk menghias istana kerajaan buatannya. Sedangkan Reza?

"Ini kolam renang, kalo semisal tuan putri pengen berenang kan tinggal nyemplung."

Febi tertawa lantang. Kerajinan pasir buatan Reza lebih terlihat seperti Palung Mariana daripada kolam. Terlalu dalam. Namun percayalah, tidak ada yang bisa menandingi dalamnya rasa cinta Reza ke Febi.

Malam semakin larut, angin mulai tak bersahabat dan mengeluarkan energi dingin yang menembus lapisan kulit manusia. Dua sejoli itu, berdiri di tepi jalan menunggu taksi yang dipesan Reza. Di bawah terangnya lampu jalanan, samar Reza melihat wajah Febi yang sepertinya kelelahan. Reza pun turut merasakan hembusan angin yang cukup kencang. Ia berinisiatif menyerahkan hoodienya pada Febi. Gadis itu lebih membutuhkannya.

"Pake."

"Terus lu gimana?"

"Udah pake aja." Febi pun menerima jaket itu dan langsung mengenakannya. Namun tetap saja, angin berhasil menembus pertahanan tubuhnya. Febi menoleh, mendapati Reza menatap lurus ke depan. Pria itu sama sekali tidak terlihat kedinginan.

"R-reza,"

"Apa?" jawab Reza tanpa menoleh.

"Masih dingin," lirih Febi jujur.

Reza menghela nafas berat, ia mengubah posisinya menghadap ke Febi dan merentangkan kedua tangannya. "Sini."

Febi menjatuhkan tubuh lemahnya ke dalam dekapan Reza. Kedua tangannya memeluk pinggang Reza erat, wajahnya ia tenggelamkan dalam dada bidang pria itu. Febi memejamkan mata, merasakan kehangatan yang ditransfer Reza melalui pelukan ini. Rasa nyaman yang sebelumnya belum pernah Febi rasakan.

"Masih dingin gak?" bisik Reza pelan dibalas gelengan kecil dari Febi. Reza mengelus puncak kepala gadis itu, rambutnya halus sekali. Bibirnya pun terdorong untuk mengecup kening Febi.

Apa pun yang terjadi, gue bakal selalu ada di samping lu, Feb.

Febi menikmati tiap detik berlalu di pelukan Reza, rasa nyaman menyelimutinya saat ini. Pria bodoh yang kadang menarik ulur emosinya ternyata bisa membuat Febi sedamai ini dalam peluknya. Tidak bisa dipungkiri, sekuat apa pun Febi menepis perasaannya tetap saja hatinya memilih Reza sebagai tempat berlabuh. Febi tahu resiko mencintai Reza adalah diteror oleh Angel, tapi mau bagaimana lagi perasaan ini terlalu kuat.

"Feb,"

"Iya?" Febi mendongak, menatap mata Reza yang juga menatapnya.

"Adakah hati yang sedang lu jaga?"

Febi terkekeh kecil, pertanyaan konyol macam apa itu.

"Jawab," desak Reza.

Namun gadis itu tak menjawab, malah semakin dalam menenggelamkan wajahnya dalam peluk. Seakan itulah jawabannya. Hati Reza lah yang sedang ia jaga. Reza menyerah, tak ingin memaksa gadis itu untuk jujur, toh yang penting sekarang Febi masih bersamanya berdua menikmati angin malam yang turut berbahagia menyaksikan mereka. Puncak kepala Febi tak hentinya ia usap, membuat gadis itu semakin enggan melepas pelukannya.

"Feb," Reza melepas peluknya pelan. Mendongakkan wajah Febi agar setara dengannya. Ia tersenyum, Reza tidak pernah terlihat semanis ini sebelumnya. "Taksinya udah dateng, ayo pulang."












Announcement!!!

Part 1-5 udah aku revisi yaa, dan alurnya sedikit dipoles juga. Yang mau baca ulang, aku persilahkan. ^^
Jujur mataku sakit liat cerita ini karena gaya tulisannya ancur banget:( makanya aku revisi.
Untuk part 6 dan seterusnya kalian jangan baca ulang yaa, soalnya masih ancur banget. Hehehe....
Terima kasih yang udah setia nungguin cerita ini update!
Jangan lupa vote dan comment yaa
Sampai jumpa next chapter!!!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Keselek Cinta Gadis IPS (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang