Hari hari terus berganti, Turnamen Wizard terus berjalan. Itu adalah satu hal yang tidak akan di ceritakan lebih lanjut disni. Tapi mari kita sama sama memberikan pujian kepada Harry Potter yang berada di posisi kedua, karena nilai moralnya yang sungguh sangat mengesankan.
Raelyn tak menontonnya jujur saja, ia berdiam diri di kamarnya saat tugas kedua berlangsung. Ia malas berdekatan apalagi berinteraksi dengan banyak orang sejak mantra tersebut meluncur di tubuhnya. Rasanya ia tidak akan pernah mau mempercayai banyak orang lagi.
Teman temannya adalah hal lain, Fred, George, Jen, Tom, dan personil baru yaitu Xeno membuat roh nya tetap berada dalam jiwanya. Raelyn bersyukur karena hal itu, tanpa mereka Raelyn tidak akan bernafas sampai detik ini. Tapi, untuk beberapa hari ini, Raelyn juga ikut menjauh dari mereka. Ia hanya butuh waktu sendiri.
Ah, kalian pasti bertanya tentang Snape bukan? Apa ia akan berbicara dengan Dumbledore tentang ini? Tentu saja, tidak.
Memangnya untuk apa ia harus bercerita pada penyihir hebat tersebut? Dia punya banyak hal yang lebih penting untuk diurus, ia tidak akan menghabiskan waktunya untuk mengurusi masalah percintaan anak berumur 15 tahun, bersama guru ramuannya. Lagipula ia masih ragu ada yang percaya pada dirinya, Snape tidak berubah pada semua orang. Ia hanya berubah pada dirinya saja. Jadi bagaimana orang orang bisa percaya?
Raelyn menatap langit malam dari celah jendela kamarnya, sambil menyesap benda haram di bibirnya. Yeah, ia kembali pada kebiasaan buruknya. Merokok adalah satu satunya hal yang membuatnya untuk tenang, tentu selain Romeonya yang sudah direbut orang lain.
Raelyn tersenyum miring, ia mengambil silet dari kopernya dan mengukir beberapa kata makian di tangannya. Kenapa ia melakukan ini? Jujur saja, rasa sakit akibat benda tajam yang mengiris kulitnya, membuat dirinya mengingat mantra yang diluncurkan Snape beberapa waktu lalu.
Terasa seperti, Snape berada di sisinya.
Orang orang benar, Raelyn sudah gila.
***
Raelyn menatap guru pertahanan terhadap ilmu hitamnya dengan mata kosong, pikirannya selalu berkelana saat di kelas. Apalagi didukung dengan dirinya duduk sendirian di bangku paling belakang.
Kemana Jen? Jen tidak duduk bersama dirinya lagi di setiap kelas seperti biasanya. Tidak, Raelyn tidak ada perasaan marah sekalipun dengan sahabatnya. Masalah Raelyn ada pada tante Jen, dan ia tidak akan melibatkan sahabatnya tentang ini. Jen masih menjadi sahabat terbaiknya, mungkin sampai saat ini.
"Miss. Dixie! Bukankah tidak sopan sekali kau memikirkan hal lain disaat aku tengah menerangkan materi disini!"
Raelyn menatapnya datar, alisnya naik sebelah.
"Kurasa kau sudah cukup pintar-" ucap Moody tajam sambil berjalan mendekati tempat duduknya. Kelas menjadi hening seketika.
"-ulangi apa yang tlah ku jelaskan tadi, tentang Horcrux." seru nya.
Raelyn memutar bola matanya malas, tanpa ia mendengar Moody pun ia mampu menjelaskan nya dengan mudah.
"Horcrux adalah suatu wadah dimana seorang Penyihir Hitam menyembunyikan bagian dari
jiwanya untuk tujuan mencapai keabadian. Dengan sebagian jiwa yang disimpan, seorang
penyihir memiliki hidup yang sangat panjang selama horcrux itu tetap utuh, biasanya disimpan di tempat yang sangat aman. Horcrux biasanya dibuat dengan benda yang-""Cukup!" sentak Moody tiba tiba.
Raelyn mengangkat alisnya kembali, lalu memerhatikan sekitar. Ternyata dirinya telah menjadi bahan perhatian seisi kelas. Beberapa temannya melihatnya terkejut, takjub, dan ngeri. Bahkan diantara mereka ada yang menganga terlalu lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My HalfBlood Prince
General FictionIni bukan kisah Harry Potter atau Kau-Tahu-Siapa. Ini hanyalah sepenggal kisah antara karakter favorit saya, Severus Tobias Snape dengan gadis kecil bernama Raelyn Chadd Dixie. Kisah yang saya buat murni hasil imajinasi saya yang sangat mengidolakan...