MUNGKIN KAH

271 36 144
                                    

"tersimpan jauh, membekas erat, terhempas pun tak mengapa. Karna yang tersisa juga tak guna"

"Hidup itu pilihan, dan ini adalah pilihan saya"

kadang sesuatu itu datang terlambat, tersadar saat udah kesasar. Merenung setelah masa perlahan redup.

Terduduk, berhayal bisa lenyap dalam lamun, menatap senja yang mulai memudar. Menanti malam yang di rindukan. Sendiri di sudut lautan, menggoyahkan hati yang resah karna kedinginan. Membisu dalam tangis, salah siapa? Hanya menyendiri di tepi laut ini. Sendiri ..., Meringkih keluhnya.

"Ternyata, persahabatan kita harus terselamatkan dengan syarat itu ..." Tangisnya pecah sudah, sesak rasanya menyimpan sendiri. Biarkan semesta mengetahuinya.

"Dengan gue jauhin Reyhan, gue kira ...., kita udah lebih dari sekedar sahabatan Key, gue kira Lo juga nganggep gue saudara seperti gue nganggep lo. Ternyata Lo nganggap gue kayak orang lain"

"Gue sesak banget, gue mau marah atau sedih atau gimana? Demi satu sahabat gue harus ngorbanin satu sahabat. Demi dapetin Varo gue harus kehilangan keluarga gue."

"Kenapa semuanya butuh pengorbanan sih? Kenapa harus slalu gue yang berkorban? Kenapa?"

"GUE UDAH CUKUP BERKORBAN!"

"GUE UDAH LELAH ...., TUHAN KENAPA GAK CABUT AJA NYAWA INI?! BIAR SEKALIAN TIADA! DAN GAK AKAN ADA PENGORBANAN BERIKUTNYA."

"GUE LELAH! GUE CAPEK!"

"HIDUP PENUH DRAMA!"

"PENGORBANAN PUN ADALAH BAGIAN, DRAMA HIDUP INI!"

"GUE LELAH! GUE UDAH GAK KUAT JALANIN INI, SESAK BANGET RASANYA BERJALAN DI SETIAP DETIK INI. GUE BINGUNG, DAN JUGA GAK NGERTI."

"SAMPAI KAPAN? SAMPAI KAPAN HARUS BEGINI! SAMPAI GUE MATI PUN GAK AKAN MERUBAH SEMUANYA."

"Vio," suara bass membuyarkan gadis yang baru saja meluapkan sakitnya. Membiarkan semesta mengetahuinya, biarkan dirinya tersakiti dengan sesak di dada.

Ia melap air matanya, namun merah di kelopak mata dan juga hidungnya menunjukkan bahwa ia menangis. "Ngapain di sini?"

"Gak papa, lagi pengen aja" celetuk Daniel, duduk di samping Vio. Membiarkan angin laut menyambarnya dengan nestapa. "Lo habis nangis?"

"Ahk ...," Kejut Vio.

"Gak papa, Niel. G-gue balik dulu. Gue tinggal gak papa 'kan?" Vio sigap berdiri, ia tak mau membebani siapapun. Ini adalah masalahnya jadi biarkan dia, semesta dan Tuhan saja yang tau!

"Biar gue anter."

Daniel mengajak Vio untuk mengantarnya pulang, Vio menggeleng pelan. "Gak usah, gue bisa kok" tolak Vio, tersenyum dengan sedikit paksaan.

"Vi, gue gak mau jadi cowok pengecut. Dengan ninggalin Lo sendiri. Sedangkan ada gue di sini!"

Daniel memegang pipi Vio dengan kedua telapak tangannya. Jantungnya berdetak tak karuan, sesak sekali melihat sedih di matanya. Tak bisa ia pungkiri, ia masih memiliki rasa yang masih sama untuk Vio, hanya saja ia sadar bahwa kebahagiaan Vio ada bersama Varo. Bukan dengannya.

Andai saja ia lebih dulu bertemu Vio, maka tak akan mungkin ada tempat untuk Varo.

"Heheh ..., Apaan sih drama banget."

Vio melepas, menggeser tangan Daniel, dari pipinya. "Yaudah, biar gue anter? Gue cuman mau nganter Lo kok, bukan nyulik Lo Weh!"

Just You And Me✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang