Prang!
Prang!
Prang!
Suara pecahan beling terdengar dimana-mana setiap kali Anantha tak sengaja menjatuhkan benda-benda itu. Napas Anantha tercekat, keringat bercucuran di tubuhnya. Langkahnya terseok berusaha menopang tubuhnya dengan apapun yang menjadi tumpuannya agar tidak terjatuh.
Lagi-lagi penyakitnya kambuh secara tiba-tiba.
Anantha baru saja selesai mandi dan mengenakan pakaian, namun saat bangkit, kepala Anantha tiba-tiba berdenyut sakit. Bodohnya Anantha lupa dimana ia menaruh obatnya setelah obat itu diminum semalam.
Sialnya, semakin ia berpikir keras untuk mengingat dimana Anantha meletakkannya, rasa sakit itu malah semakin meningkat.
"Akh!"
Anantha meringis saat kakinya terinjak pecahan beling. Namun gadis itu tetap melangkah mencari obatnya dan akhirnya ia menemukannya di bawah meja sofa ruang tengah. Anantha langsung mengeluarkan beberapa obat dan langsung menenggaknya tanpa air hingga terbatuk-batuk. Sebisa mungkin Anantha tetap menahannya agar obat-obat itu tidak dimuntahkan.
Setelah beberapa saat rasa sakit tu pun perlahan menghilang. Anantha duduk berselonjor seraya menyandarkan punggungnya di sofa. Mata sayunya terangkat memandang langit-langit apartemennya.
Bertanya-tanya, Tuhan akan terus menerus menyiksanya seperti ini sampai ia mati?
Sebelah sudut bibirnya terangkat ke atas. Sedikit lucu mengingat Tuhan masih baik membiarkannya hidup namun rasanya jahat jika menyiksanya seperti ini. Kalau hidupnya hanya dikasih monoton saja, bukankah sebaiknya Tuhan mencabut nyawanya saja sekarang? Apa yang Tuhan inginkan darinya? Apa yang Tuhan tunggu?
Apa Tuhan ingin ia memiliki teman sebelum ajalnya? Begitukah? Atau kembali pada keluarganya seperti dulu?
Rasanya mustahil.
Mustahil karena Anantha tidak ingin melakukannya. Anantha tidak ingin mereka tahu kelemahannya dan Anantha tidak ingin mereka dekat hanya karena belas kasihan.
Tidak ada ketulusan di dunia ini.
"Lo bisa cerita ke gue kalo lo mau"
"Gue serius. Kalo lo butuh tempat curhat, lo bisa cerita ke gue"
Anantha menutup matanya, lagi-lagi kalimat itu terngiang di kepalanya. Sudah hampir satu minggu sejak pertemuan mereka, tetapi kenapa perkataan cowok itu terus saja mengganggunya.
Flashback on
"Lo bisa cerita ke gue kalo lo mau" ulang Axel seraya melemparkan beberapa kerikil ke danau.
Anantha membisu di tempatnya, tidak bisa berkata-kata. Bukan karena perhatian Axel padanya, hanya saja, kalimat yang di utarakan cowok itu barusan mengingatkannya pada mereka yang sudah mengkhianatinya.
Dulu, mereka sering kali mengucapkan kalimat itu padanya setiap kali Anantha terlihat kebingungan atau merasa tertekan. Seakan-akan mereka menyuruhnya untuk menceritakan semuanya pada mereka dengan iming-iming sikap perhatian. Padahal ... kenyataannya mereka hanya penasaran.
Dan ketika Anantha melakukan kesalahan yang tidak disengajanya, mereka yang selalu mendengarkan ceritanya dan berjanji akan selalu disisi Anantha dan melindunginya, nyatanya justru mereka sendiri yang menyakiti dan menjatuhkannya ke dasar jurang. Menggunakan cerita-cerita yang pernah Anantha curahkan, mereka menggunakan hal itu dan sedikit mengubahnya, memutarbalikkan fakta untuk menjatuhkannya lebih dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANANTHA- I'm Fine (Save Me)
Teen Fiction📖 DILARANG COPAS/MENJIPLAK KARYA HANA OKE👻 Lebih baik punya karya hasil otak sendiri dari pada punya karya tapi hasil otak orang lain😂True? Jadi, Bijaklah sebelum berkarya🤗🐼 📍SLOW UPDATE!! #1 - Im Fine #10 - sad story Kesedihan, Kesakitan, kek...