Vano masih memandang pusara yang masih basah dengan taburan bunga diatasnya. Berbalut kemeja koko putih, Vano turun langsung membaringkan sang istri di peristirahatan terakhirnya.
Dengan wajah lelah tanpa gairah, Vano semakin irit bicara. Hatinya masih bergemuruh hebat. Dia seolah hilang arah.
"Yuk, pulang Bang." ajak Daffa yang turut berjongkok disampingnya.
Vano masih tak bergeming. Kini tinggal mereka berdua di sana.
"Bang, istirahat dulu dirumah. Nanti kita kesini lagi." bujuk Daffa lagi yang masih setia mendampingi Vano.
"Kamu duluan saja. Abang mau bicara dulu sama Dira." ujar Vano tanpa menoleh sedikit pun dari pusara Dira.
"Aku tunggu disana." Daffa menepuk punggung Vano seraya bangkit. Dia sengaja memberikan ruang pada Vano untuk melepas semua kesedihannya.
Vano mengelus batu nisan yang masih basah itu. Dia memandang lekat nama kekasih hatinya.
"Dira.. Maafkan, Mas." ucapnya dengan suara parau. Suaranya bahkan hampir tak terdengar.
"Maaf. Maafkan Mas yang gak bisa jaga kamu. Maafkan Mas yang gagal jadi suamimu. Bahkan selama ini, Mas gak pernah tahu sakit yang kamu rasakan. Dan kamu menanggung sakit ini sendirian hanya untuk terlihat baik-baik saja dimata Mas. Maafkan Mas, Diraa.." Vano kembali terdiam.
"Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah mencintai Mas dengan sepenuh hati."
"Terima kasih kamu sudah memberikan yang terbaik untuk Mas. Terima kasih sudah memberikan cintamu buat Mas. Terima kasih buat semua pengorbananmu."
"Andai saja Mas tahu waktu ini akan tiba lebih cepat, dari awal pertemuan kita, Mas akan langsung menikahi kamu. Andai saja Mas tahu waktu ini tiba lebih cepat, Mas gak akan membuatmu menunggu."
"Maaf.. Maafkan manusia bodoh ini yang dengan bangga menyebut diri ini suamimu. Maafkan manusia bodoh ini yang tak mengerti dirimu. Maaf Dira.. Maafkan aku.." Vano menutup matanya. Air mata Vano tak henti mengalir. Dia menangis begitu dalam. Begitu menyayat hati, termasuk seseorang yang masih setia mendengarkan ocehannya.
"Maafkan aku, Dir—"
"Bang, udah. Yuk pulang." Daffa mengangkat tubuh Vano dengan paksa. Dia tak tahan mendengar ocehan Vano yang menyalahkan dirinya sendiri.
"Kamu duluan, Dek."
"Besok kita kesini lagi. Abang sudah lelah. Ayo, kita pulang dulu." bujuk Daffa saat Vano masih mengeraskan tubuhnya untuk tetap tinggal.
"Ada Bunda sama Mami yang lagi nunggu Abang pulang. Abang ditunggu sama semua orang dirumah." Daffa merangkul Vano lagi. Dia menarik paksa tubuh Vano.
"Abang pamit dulu sama Dira, Dek" ujarnya kembali berjongkok.
"Mas pulang dulu, Sayang. Mas pasti kesini lagi. Mas janji." Vano akhirnya berdiri.
"Aku cinta kamu, Dira. Aku cinta kamu, istriku." bisiknya dalam hati seraya meninggalkan rumah baru Dira.
Sebulan berlalu, Vano masih setia mengunjungi rumah baru Dira. Dengan membawa bucket mawar merah, berbalut kemeja berwarna biru, Vano bertingkah seperti hendak berkencan.
Vano berjongkok memandang gundukan tanah dengan tumpukan kelopak bunga dihadapannya. Bibirnya terkatup rapat tapi hatinya tak henti mengoceh.
Suara Dira masih terngiang jelas ditelinganya. Bahkan, senyuman Dira semakin terpatri dalam ingatannya membuat Vano semakin hari semakin sesak oleh rindu yang tak berkesudahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BANG VANO (Complete)
RomanceFOLLOW SEBELUM BACA ---------------------------------------- Cinta pada pandangan pertama, itulah yang dirasakan Elvano Satria Martadinata saat bertemu dengan seorang gadis yang ternyata dokter yang menangani penyakit Maminya. Setelah mulai dekat de...