Bab 15

4.1K 410 54
                                    

Papa Rasya membawa Pak Keenan mengelilingi kebun hingga mempersilahkan untuk memetik sayuran sendiri.

Tentu saja, Pak Keenan nampak senang. Bukan hanya Pak Keenan, Vano dan Kirei juga ikut memetik sayuran. Mereka begitu menikmati kegiatannya, hingga tak terasa keranjang yang digunakan untuk menampung sayuran terisi penuh.

"Disana ada strawberry, dan buah lainnya Pak. Lalu sebelah sana, ada kolam ikan. Kita bisa langsung ambil juga. Kalau mau ayam, kami juga menyediakan ayam organik." terang Pak Rasya.

"Jadi setelah petik, terus di timbang, begitu?" tanya Pak Keenan.

"Betul, jangan lupa dibayar juga, Pak." candaan receh khas Bapak-bapak membuat Kirei ikut tersenyum.

"Disana ada restorannya, Pak. Kalau Bapak sudah gak sabar ingin mencicipi hasil panen barusan."

"Boleh lah kalau begitu, saya mendadak lapar lihat sayuran segar begini." Pak Keenan terkekeh.

"Betul Pak, kayaknya enak nih kita santap dengan ikan bakar nasi liwet." Vano menimpali.

Kirei membuka kaca jendela mobil, dia menghirup udara dalam-dalam. Rasanya tak rela meninggalkan lokasi tersebut. Namun, karena urusan mereka sudah selesai untuk hari ini, mereka memutuskan untuk pulang ke hotel yang sudah di booking sebelumnya. Oh, tak hanya mereka. Pak Keenan juga berada di hotel yang sama dengan mereka.

"Pak, ini yang kita lewati semua, milik keluarga Bapak?" tanya Kirei disepanjang jalan yang di laluinya. Dia melihat kanan dan kiri terhampar perkebunan yang luas.

"Hmm..."

"Fix, aku harus nikahin Bapak."

Vano melirik Kirei nampak tak paham.

"Bapak udah ganteng, tajir pula." Kirei tersenyum lebar.

"Dasar matre!"

"Matre itu di butuhkan untuk setiap perempuan, Pak."

"Ck.."

"Loh, serius. Sekarang kalau perempuan gak matre, dia mau makan apa? Cinta?"

"Saya gak suka cewek matre."

"Yah, Bapak masih gak paham aja. Gini loh, Pak. Sekarang, setiap wanita mau melangkah lebih jauh, pasti dia juga melihat pacarnya kerja gak? Minimal ada rasa tanggung jawab buat nanggung masa depannya."

"Tapi, kebanyakan perempuan gak muluk-muluk ingin di perkaya suaminya, Pak. Bukan berarti matre menghamburkan uang laki-laki. Toh, pada akhirnya banyak perempuan yang memilih berjuang bersama dengan bekerja."

"Selain kebutuhan, mungkin mereka juga menikmati pekerjaannya. Tapi tetap. Yang utama itu tanggung jawab lelakinya, bukan?"

Vano terdiam seakan mencerna ucapan Kirei. "Ya berarti bukan matre dong."

"Iya, tapi sebelum melangkah ke tahap itu, pasti lah, kita juga kaum hawa mempertimbangkan masa depannya. Anak mau d kasih makan apa nanti kalau suaminya nganggur. Cinta?"

"Tapi ini pemikiranku, lho ya.. Aku gak tahu juga kalau orang lain." Kirei terkikik dengan pikirannya sendiri.

"Pikirin tuh skripsi kamu! Belum lulus udah mikirin nikah!"

BANG VANO (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang