Dokter Herman terdiam sesaat. Dia menghela nafas panjang sebelum bicara. "Dira mengalami appendicitis, sepertinya sudah kronis." Ujar dokter Herman.
"Gak ngerti Yah, jangan pakai bahasa medis." protes Bunda Dira. Kali ini mereka lebih tenang.
"Usus buntu, Bund." timpal Mami Tasya yang diangguki oleh dokter Herman.
"Tapi.. Kali ini lebih parah dari biasanya. Usus buntunya pecah, terjadi perlengketan dimana-mana sampai menginfeksi organ disekitarnya. Terlebih, di usus dan membran yang melapisi rongga perut dan panggul." raut wajah ayah Dira nampak sedih
"Ya Allah, Bang.. " Mami Tasya menutup mulut dengan tangannya sementara Bunda Dira berkaca-kaca.
"Operasi tadi cukup sulit. Dira juga sempat drop, saat ini juga masih belum stabil. Jadi terpaksa harus masuk ruang ICU." Ayah mengusap wajahnya kasar.
Vano terdiam. Jiwanya terasa melayang. Papi Reza berulang kali menepuk pundak sang anak. Dua ibu mereka sudah menangis.
Tak berapa lama, Dira keluar dari ruang operasi dengan alat bantu nafas. Matanya tertutup rapat. Vano hanya menatap kosong tubuh Dira yang dibawa menjauh darinya.
Daffa merengkuh pundak Abangnya, membawanya melangkah mengikuti Dira.
Menatap Dira dari pembatas kaca rasanya hati Vano bagai tertusuk sembilu. Apakah semua ini mimpi? Baru tadi pagi Vano ucapkan ikrar janji dunia akhirat menjadi imam untuk gadis yang memikat hatinya pada pandangan pertama, tapi kini Vano bahkan tak bisa menyentuhnya.
Vano masih tak habis pikir dengan Dira. Vano sangat kecewa padanya. Bisa-bisanya seorang dokter bedah yang menyembuhkan penyakit Maminya, mengalami penyakit yang sama dengan pasiennya bahkan lebih parah dari Mami Tasya.
Tuhan.. Apa yang dipikirkan Dira sehingga dia bisa mengabaikan rasa sakitnya sendiri?
Seharusnya malam ini menjadi malam yang hangat buat Vano dan Dira. Seharusnya malam ini Vano memeluk tubuhnya yang wangi. Seharusnya malam ini Vano mengelus rambutnya. Seharusnya malam ini Vano menggodanya dengan gombalan.
Seharusnya.. Seharusnya kita tak disini, Dir. Kenapa? Kenapa kamu tega membiarkan aku kedinginan seorang diri disini sementara aku sudah berhak memelukmu. Kenapa Dira?
"Bang.. Mami pulang dulu ya, Mami buatkan dulu makan untuk kita tunggu Dira disini." ucap Mami Tasya.
"Mami Papi istirahat saja. Aku jaga sendirian gak apa-apa, Mi."
"Kamu juga harus istirahat. Jangan sampai drop, Bang." ucap Papi seraya menepuk pundak Vano.
"Aku temani Abang saja disini, Mi. Takutnya nanti butuh sesuatu."
"Gak usah, Dek. Kamu antar Mami pulang. Kasihan Papi juga semalaman gak tidur. Nanti dijalan takut kenapa-napa."
Daffa mengangguk patuh. Vano berusaha tersenyum pada Mami Tasya, agar dia terlihat tegar dihadapannya.
Mami Tasya memeluk Vano, matanya berkaca-kaca. "Sabar sayang, Dira pasti kembali berkumpul sama kita." ucapnya lembut sambil mengelus punggung Vano.
Vano hanya mengangguk. Untuk bicara rasanya begitu sulit. Jangankan bicara, untuk menelan salivapun rasanya begitu berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
BANG VANO (Complete)
Roman d'amourFOLLOW SEBELUM BACA ---------------------------------------- Cinta pada pandangan pertama, itulah yang dirasakan Elvano Satria Martadinata saat bertemu dengan seorang gadis yang ternyata dokter yang menangani penyakit Maminya. Setelah mulai dekat de...