Bab 27

4.3K 418 70
                                    

Follow dulu sebelum baca.
Kalau sudah follow, tekan bintang gratisnya.

Happy reading
-------------------------------------------------------

Semalaman Vano tak bisa tidur. Vano teringat kembali semua tentang Kirei. Dari mulai tersenyum sendiri hingga penyesalan tercetak jelas di wajah tampannya. Hatinya terasa tertusuk saat teringat Kirei yang memeluknya dsri belakang sambil terisak meminta maaf padanya.

"Maaf.. Maaf.. Maafkan aku, Kirei." lirihnya. Susah payah dia menelan salivanya.

"Maafkan aku yang bodoh. Maafkan aku yang gak tahu malu. Maafkan aku yang sudah sangat-sangat menyakitimu, Kirei." Vano tak henti bergumam.

Vano memeluk kedua lututnya. Menenggelamkan wajahnya disana. Sesekali dia menjambak rambutnya sendiri.

Rasanya frustasi melihat jam yang tak henti bergerak. Andai waktu bisa diputar kembali. Ingin rasanya bertemu dengan Kirei. Meminta maaf pada Kirei, kalau perlu berlutut dihadapan gadis yang sudah dia sakiti berulang kali.

Vano membuka nomor Kirei yang di blokir olehnya. Beberapa kali, tangan Vano hendak menekan simbol telepon di ponselnya. Namun, dia tak seberani itu. Dia menatap layar ponsel dengan gamang. Terlebih, rasa malu lebih mendominasi dirinya.

"Kirei.. Kirei.. Kamu mau kan maafkan Abang? Kenapa denganmu aku lebih mudah berekspresi? Hingga ekspresi yang aku luapkan sangat menyakitimu, Kirei?"

"Kenapa dengan Dira aku bisa menahan semua amarah? Saat dia menghubungiku sesuka hati, saat dia bahkan tak mengabariku selama beberapa hari, kenapa aku masih biasa saja. Terlebih saat aku bertemu dengan mantan Dira, kenapa aku tak secemburu saat melihatmu dirangkul oleh ayahmu sendiri. Kenapa Kirei? Kenapa kamu membuatku sangat berantakan? Kenapa kamu membuatku jadi orang paling brengsek yang menyakitimu berulang kali? Kenapa?" racau Vano tak henti.

Vano melihat jam di ponselnya. Sudah hampir fajar. Dia membaringkan tubuhnya yang lelah. Menutup wajah kusutnya dengan bantal. Mencoba memejamkan mata yang terasa perih dengan kepala yang berdenyut hebat. Vano terlelap bersama penyesalan yang tak berujung.

Suara ketukan pintu kamar membangunkan Vano dari tidurnya. Panggilan dari sang Mami yang tak henti membuatnya harus bergerak membuka pintu kamar walaupun enggan.

"Heran deh sama kamu, dulu Mami gak bisa tidur saat mau lamaran. Tapi kamu bisa-bisanya tidur sampai siang begini." omel sang Mami menatap wajah anaknya.

Vano melirik jam yang menggantung dikamarnya. "Masih jam 10, Mi. Aku semalam gak bisa tidur."

"Mami pikir kamu tidur nyenyak. Ya sudah istirahat dulu saja. Oya, Mami hampir lupa, cincinnya Abang simpan dimana?"

"Cincin apa, Mi?"

"Ya buat nanti tunangan kamu. Gimana sih Abang."

"Oh, di lemari, Mi." Vano menjatuhkan tubuhnya kembali di atas kasur sementara sang Mami membuka lemari baju miliknya.

"Mami yang pegang saja ya, takutnya nanti kamu lupa lagi. Sekalian biar bareng sama hantaran."

"Iya, terserah Mami saja."

Mami Tasya keluar kamar dengan membawa cincin sementara Vano masih termenung. Beberapa jam lagi, dia akan mengikat seorang wanita yang entah kenapa tak membuatnya begitu bersemangat.

Vano mengambil ponsel di atas nakas.  Kali ini, dia sangat berharap Kirei akan mengirimkan pesan. Walaupun hal ini sangat mustahil, mengingat Kirei yang sudah lama berhenti mengganggu dirinya. Namun, tiba-tiba saja ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk yang buru-buru Vano buka.

BANG VANO (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang