Bab 3

8.7K 637 56
                                    

Seseorang yang memanggil Vano mengembangkan senyum sambil menghampiri dua orang yang masih melongo menatapnya.

“Abang kapan pulang? Kok gak kasih kabar?” tanyanya dengan antusias. Dia memeluk Vano dengan semangat. Baru Vano membuka mulut, orang itu bicara kembali.

“Itu siapa? Calon kakak ipar aku? Wah.. Wah.. gak bilang-bilang, Bang. Pulang-pulang bawa calon.” Pandangannya kini beralih pada Dokter Anindira. “Hallo, saya Daffa Narendra Martadinata. Adik satu-satunya Abang Elvano Satria Martadinata. Salam kenal calon kakak ipar.” Daffa tak henti bicara seraya mengulurkan tangan.

Dokter Dira masih terpaku mendengar kecepatan bicara lelaki dihadapannya yang melebihi kecepatan cahaya. Namun tak dipungkiri wajahnya memerah dan terasa panas setelah mendengar lelaki itu menyebutnya 'calon kakak ipar'. Yang entah kenapa, Dira merasakan hal demikian.

“Hai, saya Dira.” rasanya begitu kelu untuk memperkenalkan namanya sendiri. “Mm.. Saya bukan calon kakak ipar. Hehe,” dokter Dira terlihat kikuk saat menerima uluran tangan Daffa

“Eh?” Daffa terpaku kemudian menyeret kursi dan mendorong bokongnya untuk duduk disana.

“Dokter Dira, dokternya Mami,” timpal Vano.

“Hah? Maaf, Dok.. Aku kira calonnya Abang.” Daffa tersenyum malu sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Gak apa-apa.” Dira berusaha tersenyum.

“Tapi dokter cocok dengan Abangku.”

“Daffa!” Vano bersuara walau dalam hatinya dia merasa senang mendengar ucapan sang adik.

Daffa mendekatkan tanganya ke depan bibirnya seraya menatap Dokter Dira. Dia berbisik, “By the way, Abangku jomblo seumur hidup, Dok. Kasihan dia, ganteng-ganteng tapi belum laku. Siapa tahu dokter berminat dengan Abang saya. Eh, dokter single juga kan, ya?” Ucapnya sambil terkekeh membuat dokter Dira salah tingkah.

“Adek! Kamu bicara apa sih?” ketus Vano. “Sana temui Mami.”

“Ya, ayo barengan. Emang Abang mau ngapain lagi disini? Oh iya lagi pdkt.

Vano tak menghiraukan ucapan Daffa, dia melebarkan mata teringat akan tujuannya. “Abang mau beli makan buat Papi.” Pandangannya kini beralih pada dokter Dira. “Dir, aku duluan ya.. Nanti aku hubungi.” ujarnya seraya berdiri.

“Iya, silahkan.” Dira tersenyum.

“Aku duluan ya, Dok.” Daffa melambaikan tangannya.

Dira menghembuskan nafasnya kasar. 'Calon kakak ipar katanya'  gumam Dira seraya tersenyum, dipegang kedua pipinya yang terasa memanas. 'Baru ketemu tapi rasanya mereka gak asing. Aneh sekali.'

“Yakin, dia dokternya Mami, Bang? Kok manggilnya Dira? Dia manggil Abang juga Mas. Ciee.. Gak kurang mesra, Mas?” Daffa menggodanya seraya terbahak.

Vano hanya mendelik sebal sambil berjalan cepat meninggalkan Daffa yang masih terkekeh.

“Mas.. Mas.. Tunggu aku loh Mas.. Mas bakso. Wooyyy...” Daffa sangat bahagia bisa menggoda Vano.

Di depan ruang operasi, Papi Reza tak hentinya mondar mandir dengan rasa cemas atas keadaan istrinya. Pikirannya kembali ke masa mudanya dulu, Papi Reza begidig sendiri, bagaimana tidak? Istri yang dicintainya harus menjalani cobaan berat diusia mudanya dulu. Hal itu, sedikit banyak mempengaruhi mental mereka saat berkaitan dengan 'rumah sakit'.

Vano menatap punggung lelaki yang tak bisa diam itu. Ada rasa haru dihatinya melihat Papi Reza begitu mencintai Maminya. Selama ini, dia tak pernah melihat orangtuanya bertengkar hebat dan nampak selalu bersikap romantis sekalipun dihadapan anak-anaknya.

BANG VANO (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang