Seperti biasa, pagi-pagi Vano bersiap untuk pergi ke kantor setelah mendengar suara Mami Tasya yang selalu menggema saat membangunkannya. Vano tak tahu, kenapa Mami Tasya menjadi seperti itu. Vano merasa kini Mami Tasya lebih cerewet dari biasanya. Namun, Vano menikmatinya. Setidaknya Mami Tasya masih sangat peduli walaupun umur Vano bahkan sudah lebih jauh dari seperempat abad.
Vano berdiri di depan cermin sambil mengancingkan baju. Tak lupa, dia selalu menggumamkan mantra untuk membuatnya lebih percaya diri.
"All is well Vano. Come on, you can do it!"
Vano tersenyum melihat pantulan dirinya yang terlihat tampan seperti biasa.
Sudah lima tahun berlalu sejak kepergian Dira, Vano masih berusaha move on. Butuh effort yang kuat untuk bisa kembali bekerja seperti sekarang. Untungnya, Vano dikelilingi oleh keluarga yang sangat mendukungnya. Merekalah yang membuat Vano berhasil melangkah seperti saat ini.
Tahun pertama tanpa Dira, bagaikan mimpi buruk dalam hidup Vano. Setahun itu, Vano menghabiskan hidupnya untuk menyalahkan dirinya sendiri. Walaupun Bunda dan Ayah Dira berkali-kali datang untuk menemui dan meyakinkan Vano, bahwa semua yang terjadi adalah takdir Ilahi. Tapi hal itu tak membuatnya membaik. Vano masih dihantui rasa bersalah pada istrinya.
Pernah suatu hari, Vano pergi ke rumah Dira saat awal musim hujan. Vano merasa tak tega, Dira harus sendirian di rumah barunya. Vano menemani Dira ditengah derasnya hujan hingga Daffa menyeretnya pulang.
Sampai akhirnya, keluarga membawanya ke psikiater untuk mengembalikan hidup Vano yang berantakan. Dan, Vano bersyukur. Mereka menemani Vano ke titik ini. Dimana Vano sekarang bisa tersenyum saat mendengar candaan dari orang-orang yang berusaha menghiburnya.
Thanks God, aku punya keluarga yang luar biasa.
"Bang.." Tiba-tiba kepala Mami Tasya muncul dari balik pintu membuatnya terlonjak kaget.
"Mi! Abang kaget banget." Gerutu Vano. Mami Tasya terkekeh sambil masuk ke dalam kamar.
"Abang bisa temani Mami ambil baju di butik?" Tanya Mami Tasya sambil duduk memandang Vano.
"Abang kan kerja, Mi. Kenapa gak Adek saja sih?"
"Adek ada meeting katanya. Jam makan siang deh, biar gak ganggu Abang. Gimana?" Mami Tasya selalu menampakan wajah memelasnya agar Vano menuruti kemauannya.
"Lagian, Adek yang mau nikah. Tapi dia malah semakin sibuk!" Gerutu Vano.
"Adek kamu kan lagi renovasi rumah yang dibelinya. Wajar saja, dia kerja keras."
Vano tak habis pikir, dua minggu lagi, Daffa akan melangsungkan pernikahan dengan gadis yang usianya terpaut jauh. Tapi Daffa masih kerja bagai kuda.
Mami Tasya sendiri, sangat antusias menyambut pernikahan Daffa. Sama seperti dulu saat Vano hendak menikah. Bahkan Mami sering sekali jalan berdua dengan calon menantu barunya itu. Berulang kali Mami Tasya bercerita pada Vano, kalau mereka mempunyai banyak kesamaan.
Vano tak mengerti dengan tingkah Daffa. Kenapa Daffa tidak menunggu calon istrinya untuk lulus kuliah terlebih dahulu? Apa dia sudah gak tahan menahan hasratnya?
Dasar Daffa!
Yang membuat Vano lebih heran, orangtua gadis itu kenapa mengizinkannya menikah dengan Daffa? Kenapa gak menunggu anaknya lulus kuliah terlebih dahulu? Padahal kelulusannya tinggal di depan mata. Ah, entahlah!
"Jadi, nanti Mami yang ke kantor atau kamu yang jemput Mami"
"Mi, kenapa gak ajak calon mantu Mami sih? Biasanya Mami jalan sama dia." Vano masih berusaha menolak dengan cara halus.
KAMU SEDANG MEMBACA
BANG VANO (Complete)
RomanceFOLLOW SEBELUM BACA ---------------------------------------- Cinta pada pandangan pertama, itulah yang dirasakan Elvano Satria Martadinata saat bertemu dengan seorang gadis yang ternyata dokter yang menangani penyakit Maminya. Setelah mulai dekat de...