Bab 1

21.8K 914 70
                                    

Derap langkah kaki lelaki jangkung menapak dengan pasti menuju pintu keluar bandara. Dengan menyeret koper miliknya, lelaki bertubuh atletis tersebut mengedarkan pandangannya menikmati keramaian bandara yang dia tinggalkan tiga tahun lalu.

Sejenak langkahnya terhenti, saat beberapa orang melintas di depannya. Tak dipungkiri, dia merindukan hiruk pikuk negeri kelahirannya, dimana dia tumbuh dan besar disana.

Elvano Satria Martadinata, lelaki jangkung yang mewarisi ketampanan Reza Ramadhan sang Papi tercinta, kini duduk di dalam taksi. Dengan antusias dan tanpa lelah, setelah menempuh perjalanan 7.278 mil, lelaki yang disapa Vano itu, masih menikmati jalanan yang terlihat sama sejak ditinggalkannya dulu.

Kini Vano berada tepat di depan pintu gerbang rumahnya. Vano menatap rumah megah tersebut dengan rona bahagia. Vano tak sabar melihat reaksi keluarganya saat ia memberikan surprise atas kedatangan dirinya.

“Abang!” Wajah kaget Pak Bejo sang penjaga rumah, sesuai dengan ekspetasinya. Mereka melepas rindu dengan saling memeluk satu sama lain.

“Ibu semalam dibawa ke rumah sakit, Bang.” Lapor Pak Bejo sukses membuatnya terlonjak kaget.

“Kenapa?”

“Saya kurang tahu, cuma semalam terlihat kesakitan sekali.”

Vano tak menghiraukan ucapan Pak Bejo lagi, dia berlari masuk ke dalam rumah membiarkan kopernya begitu saja.

“Abang..” pekikan kaget kedua, terlontar dari mulut Mbak Diah. Wanita yang mengurusnya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Pengasuh yang kini menjadi bagian dari keluarga mereka.

“Mami kenapa Mbak?” tanyanya tak sabar saat wanita tersebut memeluk tubuhnya. Rona bahagia wanita itu seketika sirna.

“Gak tahu kenapa, cuma semalam mengeluh sakit perut.” Jawaban yang sama dari Mbak Diah.

“Kunci motor aku mana, Mbak?”

“Abang gak istirahat dulu? Mbak takut kamu kenapa-napa dijalan. Kamu sudah melakukan perjalanan jauh.”

“Aku lebih takut Mami kenapa-napa, Mbak.”

“Kamu naik ojek online saja, jangan bawa motor, Bang.” Titah Mbak Diah yang mengkhawatirkannya.

“Aku gak punya aplikasinya, Mbak.”

“Dari ponsel Mbak. Tunggu.” Mbak Diah tergesa mengambil ponsel di kamarnya. Dia memberikan ponselnya pada Vano kemudian mengambilkan Vano air mineral. “Minum dulu,” titahnya.

Tanpa membantah, Vano meneguk air mineral yang diberikan Mbak Diah untuknya sambil menunggu ojek yang dipesannya tiba.

Tiba di Rumah Sakit, Elvano berjalan dengan tergesa mencari pintu menuju IGD dimana Mami-nya mendapat perawatan.

BRUUK

Sorry.” Ucap Vano saat tubuhnya bertabrakan dengan seorang wanita. Tanpa sadar, Vano menahan lengan wanita berambut panjang yang ditabraknya agar tidak terjatuh. Seperti adegan di film-film dengan efek slow motion, sesaat tatapan mereka terkunci. Vano seolah mendapat sengatan listrik saat dia memegang lengan wanita itu. Tak dipungkiri, jantung Vano berpacu lebih cepat dari biasanya.

“Gak apa-apa,” wanita tersebut menegakan tubuhnya kemudian melepaskan pegangan Vano.

“Ma..maaf ya Mbak. Saya buru-buru,” pamit Vano yang tak berani menatap wanita itu lagi. Rasa gugup kini melanda dirinya. Sebuah sensasi aneh terasa menjalar ditubuhnya. Tanpa sadar,  Vano mengelus dadanya seraya berjalan.

Vano mengintip satu persatu tirai penyekat pasien saat tiba di IGD. Matanya tertuju saat melihat wanita berkerudung abu-abu didampingi pria yang sedang menggenggam erat tangan wanita tersebut.

BANG VANO (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang