Heyyoo, aku come back maaf ya aku updated nya lama banget. Buat kalian nunggu lama, eh... gak tau juga ada yang nunggu cerita ini apa nggak.
Gak usah lama-lama, langsung cuss baca aja.
HAPPY READING!!!
Kesedihan adalah hal wajar bagi setiap manusia. Namun bagaimana pun itu, hidup harus terus berjalan ke depan. Bersedih secukupnya, tertawa sewajarnya. Ada waktunya terluka dan ada waktunya untuk bangkit. Memang benar melepaskan sesuatu yang sudah lama ingin kita genggam, bahkan sudah tergenggam namun harus di lepas adalah satu hal yang sangat menyakitkan. Sama halnya dengan hubungan Alana dan Alvaro saat ini. Entah akan berakhir sampai di sini atau kembali berlayar. Tapi sampai saat ini mereka sama sekali tak ingin memulai untuk menghubungi. Entah itu karena gengsi atau mereka saling menunggu satu sama lain untuk memulai terlebih dahulu. -Keras kepala- .Jika sudah seperti ini, apakah hubungan mereka akan baik-baik saja?
Tentu TIDAK. Jika saja mereka tak saling egois, mungkin hubungan mereka akan baik-baik saja. Semuanya dimulai ke-tidak jujuran Alana mengenai penyakitnya, dan Alvaro yang bersikap childish menyikapi ucapan Alana. Memang, suatu hubungan tak pernah ada yang mulus. Selalu ada kerikil kecil hingga bebatuan yang besar, yang siap menerjang hubungan mereka. Siap atau tidak siap itu akan selalu terjadi.
Menghela napas berat. Mungkin ini sudah kesepuluh kalinya Alvaro melakukan itu, seraya menatap layar ponselnya. Yang lainnya hanya menatapnya iba, tanpa tau harus berbuat apa. Mereka tau kalau hubungan Alvaro dan Alana tak baik-baik saja. Terlihat dari sikap Alvaro saat pulang dari Prancis.
Ehem
Jastin berdehem. Ia tak tahan berada di situasi seperti ini. Membuat lelucon pun sepertinya tak akan membantu, jadi Jastin harus berbuat apa sekarang?
"Kalian semua, pada latihan jadi generasi bisu apa gimana? Diem-diem baek!"
Krik
Niat hati ingin mencairkan suasana. Tapi yang ada keadaan malah semakin mencekam. Alvaro menatap Jastin tajam, lalu menggebrak meja. Meninggalkan keempat orang itu yang terlihat kebingungan serta kelegaan secara bersamaan. Bukan, bukan mereka senang melihat Alvaro pergi. Tapi keadaan tadi benar-benar membuat mereka merinding.
***
"Alana udah siap di operasi mi, pi."
Entah keberanian dari mana Alana mengucapkan kalimat itu. Tapi ia sudah memikirkan hal itu selama tiga hari kebelakang ini. Alana meyakinkan dirinya, bahwa banyak orang yang menunggunya untuk sembuh. Jadi tidak ada salahnya ia menjalani operasi transplantasi sumsum tulang belakang. Alana tidak mau semakin menyusahkan kedua orang tuanya. Biaya rumah sakit disini tidaklah murah, apalagi dirinya hampir satu bulan menjalani perawatan di rumah sakit ini. Pekerjaan orang tuanya juga sedikit terganggu, karena harus menemani dirinya. Maka dari itu Alana sudah bertekad untuk mau di operasi secepatnya.
"Kamu serius, nak?" Kinan tersenyum, ada rasa lega saat Alana mengucapkan kalimat itu. "Kamu udah pikirin mateng-mateng, kan?" Sambungnya.
"Jangan buru-buru ambil keputusan, kalau kamu benar-benar belum siap. Yakinin diri kamu dulu." Darwis ikut berbicara, karena kesiapan Alana dalam menjalani operasi berpengaruh besar pada kesembuhannya.
Alana mengangguk yakin, "Alana siap. Alana udah mikirin ini dari kemarin-kemarin. Banyak yang nunggu Alana buat sembuh, jadi Alana gak mau nge-cewain orang yang udah khawatirin Alana termasuk mami sama papi." Alana tersenyum untuk meyakinkan kedua orang tuanya. "Jadi, kapan Alana akan di operasi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVANA [Completed]
Teen Fiction(FOLLOW SEBELUM BACA) Cerita seorang cewek mengejar cowok mungkin sudah banyak kalian jumpai. Tetapi, alangkah baiknya kalian mengetahui cerita ini. Tentang Alana Farasya Lefanni , seorang gadis periang yang tak pernah putus asa saat menginginkan se...