♻️ Bagian 24

8.6K 353 11
                                    

Jika kamu bertanya siapa yang mampu membuatku merasa senang sekaligus kesal. Jawabannya adalah kata setelah jika.

***

Alana duduk sembari melamun, di dalam kelasnya. Ia bingung dengan sikap Alvaro belakangan ini. Tempo hari, laki-laki itu membelikannya makanan. Lalu, kemaren bekal darinya Alvaro mau menerimanya. Bahkan, Alvaro langsung memakannya . Dan hari ini, Alvaro dengan sukarela mau mengantarkannya pulang.

Kesambet, kah? Pikir Alana bingung. Ini bukan seperti Alvaro yang biasanya. Laki-laki itu sedikit(?) perhatian padanya. Tapi bolehkah Alana bersyukur?.

Omong-omong soal Bagas. Laki-laki itu bak hilang ditelan bumi. Semenjak kejadian di UKS waktu itu, Alana tak pernah melihatnya lagi. Bahkan Bagas tak pernah terlihat memainkan bola berwarna oren kebanggaannya itu.

"Yuk, pulang." Ujar Alvaro. Alana baru saja keluar kelas, tapi sudah dikagetkan Alvaro yang sudah menunggunya di depan kelas. Alvaro benar-benar menepati ucapannya - pikir Alana.

Alana mengangguk samar. Lalu, mereka berjalan beriringan menuju parkiran. Banyak pasang mata menatap mereka, bahkan decakan kagum sangat mendominasi indera pendengarannya dari pada tatapan iri dan tajam dari beberapa orang.

"Pake." Ujar Alvaro saat mereka telah sampai di parkiran, seraya memberi Alana helm.

Alana bergeming, ia belum menerima helm itu. Dirinya masih belum memahami apa yang terjadi saat ini, hingga suara Alvaro menyadarkannya dari lamunan.

"Na." Panggil Alvaro. Ia melambaikan tangan kanannya di depan Alana.

"Hm..."

Alvaro tersenyum tipis, "nggak usah ngode, biar gue pake-in helm." Kekehnya.

Lagi-lagi Alana dibuat heran dengan tingkah Alvaro. Dan apa katanya? dirinya memberi kode supaya Alvaro mau memakaikannya helm. Yang benar saja, apakah laki-laki itu tak bisa membedakan mana muka bengong sama muka lagi memberi kode. Padahal baru saja ia merasa tersanjung dengan tingkahnya, tapi sepertinya Alana harus menarik kata-katanya lagi.

Alana mundur selangkah saat helm itu menyentuh puncak kepalanya, "Alana bisa sendiri, kak." Alana menarik helm itu.

"Oh, oke." Ucap Alvaro.

Alvaro menatap rok Alana. Lalu, melingkarkan hoodie-nya di pinggang Alana.

Alana terkesiap, matanya melotot terkejut. Detak jantungnya berdegup kencang, jarak mereka hanya sejengkal orang dewasa. Andaikan urat malunya sudah putus, ia sudah berteriak sangat kencang saat ini juga.

Hampir satu tahun, Alana memimpikan hal ini. Dimana Alvaro mau menatap kearahnya, berjalan di sampingnya, dan Alvaro tersenyum manis untuknya. Sepertinya, Alana harus menarik umpatan-umpatan yang pernah terlontar untuk Alvaro.

"Gue nggak mau, apa yang jadi milik gue jadi tontonan orang." Alvaro segera menstater motornya setelah mengucapkan kalimat itu.

Jangan tanyakan, seperti apa keadaan Alana saat ini. Ia merasa tak baik-baik saja, sepertinya ia harus menyembunyikan pipinya yang terasa panas ini. Jangan sampai Alvaro melihat pipinya yang memerah, bak kepiting rebus.

"Yuk, pulang." Seru Alana.

Alvaro terkekeh. Setelah itu motor yang ditumpanginya berjalan meninggalkan parkiran sekolah.

***

"Mau langsung pulang, apa mau jalan dulu." Ucap Alvaro sedikit berteriak. Takut-takut Alana tak mendengar suaranya.

"Kak Alvaro mau ngajak aku jalan, dulu?" Tanya Alana.

Alvaro terkekeh, dan itu sangat menyebalkan di mata Alana. "Gak," ujarnya "tapi kalau lo mau jalan-jalan dulu ya, ayo." Ucapnya, lalu tersenyum.

ALVANA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang