Jangan dingin-dingin nanti aku nggak bisa bedain mana kamu mana es campur
***
Gadis yang tengah berbaring di ranjang ruang kesehatan itu mulai menggerakkan kelopak matanya secara perlahan, hingga kedua matanya terbuka dengan sempurna. Penglihatannya masih mengabur, perlu beberapa kedipan untuk melihat sekelilingnya hingga jelas terlihat. Retinanya disuguhkan plafon dengan cat putih dan dinding dengan cat yang sama. Bau obat-obatan juga langsung menusuk indera penciumannya tanpa permisi.
Alana kembali merasakan kepalanya yang berdenyut. Dengan refleks lengannya ia julurkan, lalu memijat pelan kepalanya untuk meredakan rasa pening itu hingga berangsur hilang sedikit demi sedikit.
Alana bangkit dari tidurnya, mengambil air putih di nakas samping tempatnya berbaring. Lalu, menegak minuman itu hingga tandas tak tersisa. Gadis itu menaruh gelasnya ke tempat semula, setelah itu Alana melihat ke sekelilingnya.
Sepi. Hal pertama yang terlintas di otaknya. Koridor juga terlihat sepi, tidak ada yang berlalu lalang walau satu orang pun. Alana melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul satu lebih sepuluh menit, sedangkan pulang sekolah pukul dua siang nanti. Itu tandanya, jam pembelajaran masih berjalan dan mos juga masih ada kegiatan.
Alana menghela napas pelan. Mengingat kejadian sebelum dirinya harus berakhir disini membuatnya menyesal. Jika saja tadi dia tak melanggar peraturan, maka dirinya masih bisa mengikuti kegiatan mos hari ini. Bukan seperti ini, hanya duduk dan berbaring tanpa ada kegiatan sama sekali.
Bosan?, tentu saja Alana merasa bosan. Gadis itu sudah bolak-balik memutar tubuhnya di atas ranjang, dan sesekali menegakkan tubuhnya. Tapi hal itu malah membuatnya semakin merasa bosan. Memainkan ponsel?, hpnya saja ia tinggal di tas. Kembali ke kelas? itu bukan pilihan yang baik mengingat dirinya belum sepenuhnya pulih.
Andai saja disini ada Aqilla, pasti dirinya tak akan merasa kesepian seperti ini. Apalagi jam di dinding yang terus berputar itu sepertinya bergerak lebih lambat dari biasanya. Padahal setelah ia bangun, dirinya merasa sudah cukup lama disini. Tapi saat melihat jam di tangannya dan juga di dinding itu sama-sama menunjukkan pukul satu lebih dua puluh menit.
Alana pernah mendengar kata-kata ini, menunggu sesuatu akan lebih lama. Sedangkan sesuatu yang tak ditunggu pasti akan terasa cepat. Awalnya Alana tak percaya hal itu, tapi saat ini dirinya merasakan sendiri. Sesuatu yang pernah terjadi pasti akan bisa dipercayai.
***
Alana baru saja menurunkan sebelah kakinya, tapi ia urungkan saat suara pintu terbuka dan menampilkan seseorang disana. Dia Aqilla, gadis itu membawa tasnya dan juga membawakan tas Alana. Bel pulang baru saja berbunyi, tapi sahabatnya itu sudah melesat cepat sampai di ruang kesehatan ini untuk menemuinya.
"Udah bangun lan?" Aqilla bertanya random sembari melangkahkan kakinya memasuki ruang kesehatan lebih dalam.
"Seperti yang lo liat qil."
"Udah ga apa-apa kan?" Tanya Aqilla lagi
"Gue nggak apa-apa qil." Jawab Alana. Alana kembali melanjutkan aktifitasnya dan segera memakai sepatunya.
"Syukur deh kalau gitu," ia memberi jeda "bisa jalan kan?" ledek Aqilla
"Nggak usah ngeledek deh." Sahut Alana kesal
Seperti inilah persahabatan mereka, selalu membantu satu sama lain tanpa diminta. Saling ejek adalah suatu hal candaan bagi mereka asalkan tidak melebihi batas. Mereka sudah berteman sejak lama, susah senang persahabatan selalu mereka lewati bersama. Senang bersama sedih juga harus dilalui bersama pula.
***
Hari ini hari terakhir Alana mengikuti mos di sma barunya. Setelah itu dirinya akan menjadi salah satu bagian di sma galaxy. Semua siswa yang mengikuti mos dikumpulkan di lapangan seperti pertama mos dua hari yang lalu. Seperti hari itu, Alvaro akan memberi sedikit pengarahan kegiatan hari ini sebelum upacara penutupan nanti siang.
Sedangkan dari barisan di lapangan. Seorang gadis tengah menatap Alvaro tanpa berkedip barang sedetik pun. Alana memang gadis ajaib, padahal baru dua hari yang lalu dirinya dibuat terkapar di ruang kesehatan akibat hukuman dari Alvaro. Tapi sekarang seperti tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Alvaro.
Seharusnya, gadis itu merasa kesal atau menunjukkan rasa marah. Bukan malah menatap kagum seseorang yang sekarang menjadi pusat perhatian semua orang.
"Karena hari ini hari terakhir mos, kegiatan kalian hari ini minta 10 tanda tangan kepada kakak-kakak osis yang ada di depan kalian. Saya beri waktu tiga puluh menit, jika sudah selesai bisa dikumpulkan di Alvin ketua OSIS atau di saya," Alvaro memberi jeda
"Jika kalian sudah paham, bisa dimulai dari, sekarang!" Pungkas Alvaro
Semua siswa langsung berhamburan keluar barisan. Mereka langsung menyerbu anggota osis terdekat mereka, bahkan ada osis yang kabur saat ada yang mendekat. Ada juga yang disuruh berjoget atau bernyayi baru mereka akan mendapatkan tanda tangan.
Ini semua tantangan, semua yang diinginkan harus ada prosesnya. Dan dari semua proses itu tak mesti melewati jalan yang mulus, ada yang berbelok dan ada juga bebatuan atau kerikil yang menemani. Yang terpenting, menjalani itu semua dengan ikhlas dan menikmati semua prosesnya itu lebih baik daripada berdiam diri tanpa melakukan apapun.
***
Alana melangkahkan kakinya memasuki lapangan basket. Retinanya menangkap seseorang yang sedang mendribble bola dengan sesekali dilemparnya dan dimasukkan ke ring. Gadis itu menyukai permainan basket Alvaro, Alvaro terlihat sangat mahir mengendalikan bola berwarna oren itu.
Alana semakin memperpendek jarak diantara Alvaro. Jantungnya semakin bergemuruh saat laki-laki itu menyadari kedatangannya. Tatapannya masih sama, datar seperti biasanya.
"Ngapain?" Tanya Alvaro random. Laki-laki itu kembali mendribble bola dan memasukkannya ke ring.
"Minta tanda tangan kak Alvaro boleh?" Tanya Alana. Gadis itu menyodorkan buku dan polpen di genggamannya.
Laki-laki itu berdecak pelan, "Masih punya nyali juga ketemu gue." Remeh Alvaro
"Boleh minta tanda tangan kak Alvaro?" Alana kembali bertanya hal yang sama.
"Kenapa nggak minta tanda tangan ke yang lain?" Tanya Alvaro. Lelaki itu merebut buku dan juga bolpoin di genggaman Alana.
Seketika, Alana menyunggingkan senyumnya melihat itu.
"Jadi cewek nggak usah ke geer-an, gue mau tanda tangan sebagai permintaan maaf gue waktu itu."
Alana mengernyitkan keningnya, "Oh yang waktu aku pingsan? aku udah maafin kak alvaro."
"Bagus deh," Alvaro mengembalikan buku Alana kembali. Laki-laki itu melangkah keluar meninggalkan Alana sendiri di lapangan basket itu.
"Kak Alvaro." Panggil Alana
Alvaro menoleh, mengangkat sebelah alisnya. Seolah bertanya, "Kenapa?"
"Makasih udah mau tanda tangan." Jawab Alana cepat
"Oh, noprob."
Alana hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dari sini Alana sedikit tahu sifat Alvaro. Walaupun dingin dan jarang ngomong, laki-laki itu punya sisi baik menurut Alana.
Setiap orang punya sisi baik dan buruk. Walaupun yang terlihat hanya keburukannya, belum tentu orang itu sepenuhnya buruk. Sebaliknya, jika orang itu hanya menampilkan kebaikannya. Belum tentu orang itu sepenuhnya baik, bisa saja orang itu musuh yang menyamar menjadi teman baik. Tapi itu tak sepenuhnya benar, bisa saja orang itu memang benar-benar baik. Yang terpenting, lebih selektif dalam menilai orang. Karena itu lebih baik, daripada asal tuduh.
***
Revisi : 13 - 08 - 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVANA [Completed]
Teen Fiction(FOLLOW SEBELUM BACA) Cerita seorang cewek mengejar cowok mungkin sudah banyak kalian jumpai. Tetapi, alangkah baiknya kalian mengetahui cerita ini. Tentang Alana Farasya Lefanni , seorang gadis periang yang tak pernah putus asa saat menginginkan se...