Zikri - 23. Menikahlah

1K 120 51
                                    

"Papa sudah bisa pulang hari ini."

Runa terus melangkah meski tahu aku mengikuti. Dia membicarakan banyak hal termasuk, "Aku menerima tawaran ta'aruf."

Kalimat yang menghentikan langkahku dan menunduk sesaat. Saat dia berbalik, kukatakan,

"Tabaarok."

Mungkin itu yang terbaik untuknya. Waktu tidak pernah tepat untuk diputuskan manusia tanpa izin Sang Pencipta.

"Kamu juga. Pasti ada jalan yang baik untuk kalian."

Aku mengangguk meski tak mengerti maksud kalimat Runa. Belum ada yang tahu mengenai kelanjutan sidang ceraiku dan Mira di luar keluarga dan pihak pengadilan.

Tidak perlu menceritakan masalah rumah tangga pada lawan jenis, kan? Hal-hal seperti itu bisa jadi membuka pintu-pintu maksiat dengan dalih kepedulian.

"Dede bilang tadi mau nyusul. Kamu nggak apa-apa kutinggal?"

Anggukannya membuatku mengucap salam dan mempercepat langkah menuju bagian administrasi. Tawaran ke depan bersama kuingkari lebih dulu.

Ada celah-celah yang tak sengaja membuka jika mendengar setiap kata yang terucap, seolah dia kembali menaruh percaya padaku seperti dulu. Lebih baik semua tetap membisu daripada meninggalkan luka lagi.

Mungkin, ini juga yang Runa rasakan begitu sadari jika sahabatnya yang menjadi pasanganku.
Masalahnya, apa aku bisa mengubah keadaan?

Jika posisiku sebagai Runa dan pembawaan diri sepertinya, tidak akan ada yang berubah. Itulah takdir. Sedetik yang terlewati sekali pun tidak akan kembali. Apalagi beberapa bulan.

Perasaannya mungkin telah berbeda.
Meski tidak ada iddah untuk lelaki yang bercerai, Runa telah memilih calonnya.

***

Aku kembali ke ruang ICCU setelah mengurus bagian administrasi lanjutan, menebus obat yang akan digunakan, belum lagi fotokopi berbagai macam berkas untuk keperluan asuransi kesehatan dari pemerintah. Apa nggak ada sistem pelayanan satu pintu? Seperti penggunaan e-ktp yang harusnya bisa digunakan setelah penerapan chip.

Atau kartu BPJS yang bisa diakses melalui ponsel. Tetap saja semua harus fotokopi lagi.

Suara alat-alat menyapa. Para petugas medis sudah mengelilingi ranjang ayah.

Ketika datang, Ayah hanya mengeluhkan sesak. Begitu aku kembali, mulut ayah sudah ditutupi alat bantu pernapasan.

"Ayah kenapa?" tanyaku pada Syifa yang berdiri tidak jauh sambil menutup mulut.

Tidak ada jawaban selain air mata yang semakin deras.

"Umi mana?" Kuguncang bahu adikku seraya melirik tindakan yang dilakukan dokter jaga. Seperti menekan dada ayah beberapa kali.

"Umi ... Umi tadi dibawa ke UGD." Isakan yang lolos dari bibir Syifa membuat kalimatnya harus diucap berulang biar aku paham.

Dalam beberapa menit, kedua tanganku menekan puncak kepala yang mendadak berat. Setelah urusan Mira yang harus dibicarakan dan membuat Ayah kembali dirawat, keadaan Umi yang rentan pendarahan berulang menambah beban rasa bersalah.

"Syifa cek keadaan Umi. Abang tungguin Ayah di sini," titahku dengan nada pelan nan tegas.

Tidak ada penolakan. Syifa menyeka air mata kemudian bergegas keluar dari ruangan. Beberapa menit berlalu, suasana jauh lebih tenang ketika alat-alat yang terhubung pada tubuh ayah mulai berima.

Kudekati beliau saat semua petugas membubarkan diri, memegangi tangan keriputnya seerat mungkin.

Takut.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang