Aruna 20. Tawaran ta'aruf

2.6K 349 101
                                    

Pembicaraan serius. Dokter menyarankan agar Papah dipasangkan ring. Aku dan Ibu sepakat. Ada pun biaya, Tante Hiya bersedia menanggung. Aku berjanji pada tante akan membayarnya nanti.

"Sakitnya sudah lama. Papamu beberapa bulan terakhir ya gitu, gerak selangkah, ngos-ngosan."
Jawaban ibu setelah aku bertanya. Aku hanya membisu mendengarnya, tak tahu apa-apa tentang keluarga.

Benar-benar tak sangka. Begitu sampai ke ruangan. Papah menolak mentah-mentah.

Katanya, "Untuk apa?" dengan tubuh bersandarkan bantal.

Kujelaskan sebagaimana dokter, pasang ring perlu segera dilakukan untuk hentikan kerusakan otot jantung, sehingga dapat menurunkan risiko kematian.

"Enggak apa-apa, nggak usah. Sakit, namanya hidup. Hidup punya Tuhan."

"Tapi kita harus coba kan, Pah?"

"Risikonya? Apa kata mereka."

Aku tergagap, mencoba mengumpulkan informasi. Menjawab ragu. "Pembekuan darah ... serangan jantung juga ... alergi obat yang digunakan selama proses, hingga ... komplikasi." suaraku kian mengecil hingga ujung.

"Pulang." begitu putusnya.

"Kalo biaya yang Papah takutkan. Nggak perlu khawatir. Tante bilang, beliau bersedia-"

"Sudah berapa kali saya katakan jangan libatkan lagi wanita itu." tekannya keras.

"Pah!" Aku berteriak protes. "Bagaimana mungkin papah menafikan kebaikan tante selama ini ke keluarga kita!"

"Lihatlah. Bahkan kau dibuatnya kian membangkang seperti ini!"

Dari ujung ranjang, Ibu yang tengah memijit kaki, menggeleng, menyuruhku berhenti.

Tubuhku bergetar. Dada bergemuruh. Tanganku mengepal.

"Dan Papah selalu saja egois! Katanya kemarin mau perbaiki semua dari awal, tapi mana?" tudingku mengingatkan akan janjinya beberapa hari yang lalu, mengaku menyesal atas semua.

"Nyatanya papah nggak berubah! Nggak pernah bisa berempati pada orang lain, padaku, juga Dede. Nggak pernah mikir, gimana perasaan kami-anak papah yang takut kehilangan papah!

"Gimana perasaan kami menyaksikan papah sakit begini, sementara kami tidak dibiarkan untuk berupaya yang terbaik yang kami bisa, untuk orangtua kami.

"Terus saja Papah begini. Bilang aku anak nggak guna yang sukanya membangkang seumur hidup!" teriakku tak terkendali. Belum sempat kuluahkan segala menyesak yang ingin keluar itu, kudengar suara gaduh di luar, buru-buru dari balik pintu.

Dede muncul. Terengah-engah.

"Kak? Ada apa?" tanyanya menatapku yang bercucuran air mata. Agaknya ia sempat mendengar pertengkaran kami.

Tanpa menggubris. Aku langsung menyingkirkan Dede, buru-buru keluar. Takut diri ini makin hilang kendali. Bahkan ketika di luar, aku menabrak keranjang buah di tangan Zikri hingga buah-buah itu menggelinding. Ah, macam sinetron saja. Memalukan.

Aku mendaki tangga, memutuskan naik ke rooftop gedung ini. Enggan terlihat siapa pun. Memandang semua dari atas sini, dan seketika berpikir bahwa aku tak ubahnya hanyalah bagian yang sangat amat kecil dari kehidupan.

Aku terkesiap, karena tiba-tiba saja kurasakan dingin di pipi kiri. Begitu menoleh, kutangkap wajah Syifa tersenyum. Yang barusan itu, tak lain adalah sekaleng minuman cincau dingin di tangannya, yang ia daratkan ke pipi.

"Ya Allah, Kak! kukira siapa." selaku menyentuh bagian dada, kaget. Syifa tersenyum menyodori minuman itu. Kuterima dengan ucapan terima kasih.

Kami memutuskan mengambil duduk. Kurasakan sejuk mengaliri kerongkongan. Meneguknya beberapa kali. Manis. Sedap. Cukup memperbaiki mood.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang