Berangkat langsung tanpa transit. Lepas landas dari Bandara Haneda pukul 10.20 waktu setempat, hingga tiba pukul 04.55 sore di Soekarna-Hatta.
Ada Dede yang menyambutku, merebut bawaan, berencana mengantarkanku dulu ke rumah untuk berisitirahat.
Di perjalanan dia tak banyak bicara. Berbeda dengan chat-nya beberapa minggu terakhir yang rajin sekali menyuruhku pulang. Hal yang terbilang jarang mengingat dia adalah seorang pendiam yang tak suka memaksakan kehendak.Aku tahu semua nggak mudah untuknya. Berada di posisi antara harus memihakku atau orangtua. Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya selama ini. Kakak macam apa yang tidak mempertimbangkan adiknya. Hanya sibuk dengan perasaan sendiri.
Kutangkap wajahnya terlihat lebih tua dari yang terakhir kuingat. Kini ia berhenti izin membeli kopi sebentar.
"Kakak, mau?" tawarnya menyodorkan segelas kopi hitam. Aku menerima dan mencicip sedikit. Hanya bisa menatapi wajah kelelahan itu.
"Aku lebih suka kopi akhir-akhir ini." akunya, "mau ikut turun?" tawarnya menunjuk tempat duduk di super market.
Aku menggeser kursi, mengambil duduk. Memindahkan kopinya agak ke tengah agar tidak tumpah. Menatap tubuh jangkung itu yang kembali dengan satu cup besar mie seduh instan. Mengaduk-aduknya di hadapan.
"Berapa kali?" tanyaku.
"Apa?"
"Minum kopi?"
Dia mengangkat wajah. Terlihat agak berpeluh karena mie yang pedas berkuah. Ia menyelesaikan kunyahan, "Tergantung. Tiga kadang lima kali."
"Kamu harus kurangi makan mie, kopi ini juga," tunjukku pada kopinya, yang ditanggapi dengan cengiran. Seolah berkata. Ah, kayak kakak nggak pernah saja.
Perjalanan dilanjutkan. Seperti ada tembok pemisah di antara kami. Ya. Dede mungkin punya banyak hal terpendam yang ingin ia ungkap tapi ia tahan. Demi mempertimbangkan perasaanku, mempertimbangkan hubungan kami.
Dia kemudian menepikan mobil minta rehat sebentar, lelah menunggui macet. Hingga terlelap begitu saja.Kuhabiskan waktu dengan memandangi wajah letihnya. Kuucapkan maaf karena tak pernah berkata maaf. Lihatlah dia, adikku. Yang tak disangka jauh lebih dewasa daripada kakaknya ini. Kuhalangi pancaran sinar sore yang menembus kaca yang mengenai wajahnya. Tak ingin membuatnya terbangun. Dalam hati aku berdoa, agar Allah mau bukakan pintu hidayah pula untuknya.
Bahkan ketika sampai rumah, pernyataan itu tak benar-benar terucap. Hingga kudengar deru mesin mobil yang hendak kembali bertolak ke rumah sakit. Satu tetes air mataku jatuh, menyesali diri yang begitu angkuh tak mau akui kesalahan diri. Terduduk di kursi ruang tamu.
"Kak?" Suaranya di ambang pintu.
Dia kembali? Buru-buru aku menyeka bekas tangis, membuka pintu yang terkunci. Kekhawatiran akan hal buruk tak terduga yang bisa-bisa terjadi, membuatku lebih awas. Selalu mengunci pintu di mana saja berada.
"Kakak mau dibawakan makan malam apa?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Nggak usah. Nanti makan mie saja," sahutku sekenanya.
Dia tertawa. "Tadi, katanya jangan makan mie ..." ingatnya pada ucapanku tadi siang.
"Terakhir, deh," janjiku ikut tertawa.
"Kalo terakhir berarti perlu kita rayakan. Gimana? Deal?" tawarnya.
"Hm. Deal!" ucapku. Menyambut uluran tangannya."Nggak ada apa-apa di rumah, Kak. Biar aku yang beli mie-nya."
"Aku double."
"Iyaa, aku tahu. Ada lagi?"
"Telur, bawang merah, rawit, daun bawang, terus ..."
"Kecap!" ucap kami serempak lalu kembali tertawa.
"Hati-hati, ya, De."
"Siap, kakak!" ucapnya nyengir mengangkat tangan di depan dahi seperti orang hormat bendera, lalu berbalik.
Air mataku jatuh lagi melihatnya begitu. Adalah kenangan kami beberapa tahun lalu. Ketika kami sering memasak mie bersama ketika tidak ada apa-apa dan siapa-siapa di rumah. Mengapa mie? Karena cuma itulah yang kubisa.
"De!" teriakku menyambar gagang pintu, mengejarnya. Aku langsung menghambur, memeluknya ketika ia menoleh.
"Maafkan, kakak."
"Hm. Thank you, udah balik."
***
Pagi. Aku merasakan kepalaku berat. Entah karena lantaran aku kurang tidur beberapa hari ini. Kukabarkan pada Dede untuk nggak perlu buru-buru menjemput. Aku akan ke sana sendiri saja, sambil bawakan baju ganti yang semalam terlupa dia bawa. Lagi pula hari ini, minggu. Biarlah dia rehat sebentar.
Pukul 09.06 pagi setelah merasa mendingan dan mengguyur kepalaku dengan air es, aku berangkat menuju rumah sakit menggunakan Bus Trans. Tadinya pengen menggunakan ojek atau taksi online saja, tapi buru-buru kuurungkan. Ingat kembali pelajaran tentang pergaulan dalam islam. Bagaimana pun itu tetap saja khalwat, berdua-duaan. Selagi masih ada alternatif lain, kenapa harus, ya, kan? Lagian kondisinya belum darurat. Aku nggak akan mati naik bus. Cemas sedikit mungkin, iya dan aku yakin masih bisa mengatasinya.
Ketika sampai, kuhubungi Dede lagi. Lupa menanyakan ruangan. Betapa cerobohnya! Kini handphone-nya nggak aktif. Kuputuskan untuk bertanya. Namun dari sisi kiri kulihat Mira dengan khimar marunnya, terburu-buru melewatiku begitu saja. Dia menangis?
Kuputuskan untuk mengikuti, mempercepat langkah. Dia cepat sekali. Kucoba sedikit agak berlari. Mira menuju lorong-lorong sepi. Langkahku tertahan seketika mendengar derap langkah cepat dari belakang. Seorang pria. Menjadi kaget setelah ia berhasil melewati. Itu ... Zikri.
Dia berhasil meraih lengan Mira. Sepertinya ada masalah serius di antara mereka, sampai-sampai tak sadar akan keberadaanku. Mira meluncurkan pernyataan kecewa pada Zikri. Berulang kali dia menyebut. "Perempuan itu, perempuan itu." Entah siapa.
Rasanya ingin pergi tapi tubuhku tak beranjak. Kulihat Zikri memohon pada Mira untuk mau dengarkan penjelasan darinya lebih dulu. Sekejab. Mengingatkanku akan masa lalu. Dia masih sesabar itu. Dan entah bagaimana ... aku juga tak terlalu bisa dengar jelas ... Zikri berhasil menenangkan Mira dan membawanya ke pelukan..
Darahku berdesir. Terkesiap. Seketika langsung berbalik.
"Runa!" suara Mira.
Langkahku tertahan. Tak bisa untuk tidak menoleh. Memaksakan senyum. Oh, tidak ... situasi macam apa ini. Kutangkap Zikri ikut kaget melihatku.
Aku mendadak gagap.
"Ya? Ma-af, a-aku... nggak sengaja. Tadi... aku li-""Kak, ayo!"
Itu suara Dede! Buru-buru aku menyahut, langsung berbalik, berlari ke arahnya. Mengucapkan hamdalah berkali dalam hati. Ketika sampai, Dede langsung merangkulku dengan lengan kanan, membawaku merapat. Seolah aku inilah yang adik.
"Thank you!" ucapku sungguh-sungguh.
"For what?" tanyanya penuh pura-pura.
Aku memberi isyarat. Yah, kamu tahulah. kejadian barusan. Yang mana lagi.
"Ah, karena telah menyelamatkan kakak dari situasi tadi?"
"iyaa!" ucapku agak keras.
"Aman. Semua pasti kucatat dalam buku utang!" ujar nyengir menepuk ponsel, langsung berlari.
"Dede ..., tunggu!" teriakku mengejar.
Thanks God. Terima kasih. Terima kasih telah mengembalikan adikku,
Hasadev D Mahalli, seperti dulu.***
Terima kasih masih setia 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIKR MAHABBAH
SpiritualZikri, putra seorang ulama terkemuka, justru jatuh cinta pada seseorang yang dibantunya. Gadis yang memohon perlindungan dan menyimpan banyak luka itu bernama, Aruna. Kesungguhan dan perjuangkan Aruna untuk sembuh, untuk bebas dari cengkeraman masa...