Zikri - 4. Topeng

1K 168 69
                                    

"Kamu masih mau datengin dia, Bang?" Zen mengganti perban di lengan kiriku. Syukur hanya goresan panjang di permukaan.

"Apa, ya? Seperti kamu dulu, Zen. Meninggalkan orang yang sedang terombang-ambing imannya bukan ciri muslim yang baik. Bukankah punya orang-orang yang mendukung perubahan kamu itu menenangkan?"

Zen mengangguk. Syifa--adikku--baru keluar, membawa dua cangkir teh. Kabar penusukan yang kualami membuatnya langsung pulang.

"Memang nggak salah Ustaz kita satu ini." Celetukan Zen membuatku spontan terdiam.

Ustaz? Aku bahkan sangat jauh dari citra hafizul quran. Semua hanya topeng yang masyarakat sematkan karena aku anak dari pemuka agama.
Bibirku membentuk senyum. Bukan karena setuju, tapi miris.

"Banyak dari mereka yang meninggalkan Islam bukan karena ajarannya yang mengikat, tapi justru karena banyaknya dari kita yang merasa mampu menjadi sebab hidayah seseorang." Syifa menyambung perkataanku. Dia menunduk ketika Zen terpaku dengan ucapannya.

Aku tidak tinggal diam. Mengenal prinsip Syifa apalagi keadaan Akmal--calon suaminya yang belum membaik, aku langsung menepuk bahu Zen, "Tatapan pertama dimaafkan, tatapan berikutnya dosa."
Zen yang terkejut langsung menunduk, mengucap istigfar berulangkali.

Mungkin, ini juga cara Allah menjagaku agar tidak terlalu larut dalam ikhtilat* dan khalwat**. Memberi bekas kuat pada ingatan mengenai hafalan ayat suci dan hadis.
Sayangnya, khilaf dalam hidup lebih banyak memengaruhi. Dosaku, aibku, jauh lebih banyak dari yang terlihat.

***

"Masih betah datang?"

Aku terkejut saat memasuki kamar rawat inap. Runa dengan rambut panjangnya yang masih setengah basah dibalut handuk sebagian.

"Nggak usah muna pake sok nunduk. Temen lo yang waktu itu malah kayak nggak punya baju."

Aku menghela napas dan mengangguk saat meletakkan plastik berisi bubur. Yakin lebih enak dari bubur rumah sakit

Runa benar. Hye Rin bukan hanya seksi, tapi juga non-muslim.
Banyak hal yang mengubah sudut pandangku semenjak kuliah. Perlahan, larut dalam pergaulan dan untuk lepas dari itu semua nggak semudah membalik telapak tangan.

Kutampakkan seringai ketika harus menatap netra kelamnya. "Jadi, lo mau gue gimana?"

Benar. Tatapan pertama dimaafkan, berikutnya akan terus dihiasi keindahan oleh setan sejak keluar dari rumah. Sedangkan dalam ruang perawatan, hanya ada kami berdua.

"Tinggalin gue," putusnya sepihak seraya menutup kepala menggunakan selimut. Sempat kulihat semburat kemerahan di pipinya.
Salah sendiri minta aku melihatnya. Salah sendiri telah menantang.

"Lo tahu, Run? Pertemuan berikutnya, mungkin lo bakal mimpiin gue dalam tidur."

***

* Ikhtilat: Campur baur dengan lawan jenis di tempat ramai.

** Khalwat: Bertemu lawan jenis di tempat tertutup.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang