Zikri - 22. Berkeluh Kesah

637 100 33
                                    

"Maafkan Mira, Bang. Maaf jika Mira belum siap menjadi istri yang baik." Akhirnya tangisan Mira pecah di tengah keluarga setelah mendengar penjelasan panjangku.

Ummi langsung memintaku bergeser ketika beliau memeluk Mira. Bisa kulihat jemari rentanya mengusap puncak jilbab perempuan yang masih berstatus sebagai istriku secara hukum.

"Zikri benar-benar yakin dengan keputusan Zikri?" tanya Ayah pelan. Intonasinya seolah tertekan. Gerak tubuhnya mengingatkanku pada kejadian terakhir sebelum masuk rumah sakit.

Aku berpindah ke sisi ayah, mengambil kedua tangannya untuk kugenggam sambil menunduk.

"Zikri sebenarnya tidak menginginkan perceraian. Seperti kata Ustaz Muaz, perceraian sangat dibenci Allah. Namun, ada sebab-sebab yang tidak mungkin kami teruskan, Ayah."

Ayah mengangguk pelan, sesekali terbatuk. Napasnya pendek-pendek. Jika tangannya sudah memegangi dada, berarti sakit itu kembali datang.
Orang tua Mira pun berhenti saling mendebat ketika melihat keadaan ayah sampai aku perlu memijat jari-jari ayah, menekan titik-titik syaraf yang sekiranya mampu meringankan.

"Seperti kata Nak Zikri. Kami akan menjemput Mira begitu masa iddahnya selesai, atau jika Zikri sendiri yang mengantar putri kami pulang. Kami harap masalah kalian bisa selesai dengan baik."

Lelaki yang dikenal sebagai bapaknya Mira itu lebih dulu berdiri, menyalami ayah dan Ustadz Muaz diiringi istrinya sebelum memberi salam dan keluar dari rumah.

Kerut yang tampak di wajah mereka seolah memendam kekecewaan. Benar. Siapa yang tidak kecewa ketika anak perempuannya bercerai dalam keadaan masih suci?

Syifa langsung menghampiri kami begitu keluar dari kamar, turut memijat punggung ayah. Dia juga sebelumnya tak menyangka saat pulang dan mendapati Ustadz Muaz berbicara padaku dan Mira.

Hening sampai isakan Mira yang pelan masih terdengar, menjadikan pangkuan ummi sebagai bantalan. Buat orang di sekitar, keputusan kamu mungkin langkah yang berat, tetapi terus berjalan dalam keadaan tak mampu saling menerima ... sulit.

"Mira masih mau pulang?" Aku memecah lebih dulu, canggung dengan kebisuan setiap orang.
Mira mengangguk pelan, membiarkan jemari ummi menggenggam tangannya.

"Benar Zikri masih ketemu Runa?" Ummi lebih dulu bertanya tanpa melihat ke arahku.

"Runa? Bukannya Runa pergi ke Jepang?" Syifa hampir berteriak. Ayah bahkan mengaduh karena tekanan pijatannya.

Aku mengangguk, mengiakan pertanyaan siapa saja tanpa suara.

"Itu ... papanya menghuni ranjang perawatan di samping ayah waktu di rumah sakit. Zikri nggak ada maksud mengkhianati Mira."

"Demi Allah, Zikri tidak berduaan. Ada saudaranya, dan Mira datang bersama Hye Rin." Aku melanjutkan, tertunduk karena harus cerita.

"Benar, Mira?" Pertanyaan Ayah tertuju pada wanita di pangkuan ummi. Dia mengangguk pelan, masih sesenggukan.

Ayah menarik napas perlahan sebelum bicara. "Mira mengenal Zikri selama beberapa bulan pernikahan. Apa masa lalu masih penting untuk dibahas?"

Tidak ada jawaban. Semua memilih bisu ketika Ayah menjelaskan.

"Mengorek aib suami, apalagi menceritakan pada orang lain, sama saja Mira membuka keburukan sendiri. Bukankah istri seperti pakaian bagi suami, begitu juga sebaliknya?"

Jeda yang tercipta kugunakan untuk angkat bicara.

"Zikri yang tidak mampu membimbingnya, Ayah. Zikri membiarkan masalah berlarut-larut."

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang