Zikri - 1. Catatan Biru 📘

3.3K 340 348
                                    

"Bang Zikri beneran nggak sibuk hari ini?" Mira mempertanyakan lagi ketika roda mobil yang kami tumpangi berhenti di depan wisma.
Dia bilang mau mengemasi sisa barang yang tertinggal untuk dibereskan.

Aku mengangguk sambil melepaskan sabuk pengaman yang dia kenakan. "Abang tunggu sini aja?"

"Nggak lama kok, Bang."
Jilbab lebarnya mengikuti pergerakan saat keluar lebih dulu sambil menenteng tas kosong.

Senyum gadis yang telah menjadi istriku selalu terlihat ceria tanpa beban selama beberapa hari mengenal.

Ya. Beberapa hari pernikahan yang kami jalani seperti teman. Jangan dikira begitu nikah langsung bisa berlanjut pada urusan lebih intim.
Kami ... butuh waktu. Bicara secara langsung saja masih terasa kaku.

Lima menit, sepuluh menit, belum ada tanda Mira keluar dari wisma. Katanya cuma bentar.

Akhirnya aku memilih menyusul, menyusuri lorong yang sebagian besar sepi pada jam kerja. "Ra?" Kupanggil namanya, memastikan semua baik sampai berada di depan pintu kamar yang terbuka.

"Masih lama, Ra?" Kutanyakan lagi sambil mengetuk pintu sebelum masuk.

Mira duduk di pinggiran ranjang, memegangi buku catatan kecil berwarna biru muda. Aku mengenali benda itu dan sempat terdiam, menelan ludah yang mengumpul dalam rongga mulut dengan susah payah.

Kuberanikan diri untuk duduk di sisi dirinya yang menunduk dan menutup buku di depannya.

"Baca apa?" Berusaha terdengar normal, tapi aku malah tergagap ketika mencoba meraih benda yang kutahu milik Runa.

Senyum yang sempat kulontarkan redup seketika saat dia menampakkan bulir di pipi. Hangat ketika kusapu dengan ujung jari.

"Habis baca apa? Kok malah nangis gini?" Kuraih buku di tangannya, tetapi Mira justru menjauh, menyekat jarak, memeluk erat buku itu di dada seraya menggeleng.

"Abang ada hubungan apa sama Runa?"

Pertanyaannya mengejutkan. Benar, itu buku yang kuberikan pada Runa. Tapi ... "Hubungan?"

"Apa yang aku nggak tahu?"

Beberapa hari setelah pernikahan, kami tidak pernah membahas masa lalu. Semua seolah menjadi buku baru dengan lembaran-lembaran putih yang harusnya tak dikotori dengan aib yang telah ditinggalkan.

Aku masih menahan gemuruh di dada, menjaga intonasi bicara meski kedua tangan sudah mengepal di pangkuan. "Maksudmu apa? Aku nggak ngerti?"

"Jangan bohong!"

"Bohong? Aku aja nggak ngerti kamu bicara apa."

Pertama kali, dalam hitungan hari. Kami saling berteriak. Bagaimana merajut asa jika jarak yang tercipta semakin jelas?

"Abang tahu kan buku ini?" Dia menunjukkan buku catatan yang mungkin menyimpan kenangan, jika melihat betapa terpukulnya Mira.

Daripada bohong atau meledak, aku memilih bungkam, membiarkan spekulasi menjalari pikiran kami dalam ruangan.

Mira menangis lebih dalam. Isakannya tertahan telapak tangan yang menutup mulut. Aku hampir mendekat, mau menyentuh bahunya yang bergetar, tapi ditepis.

"Enggak! Stop! Jangan mendekat!" Mira semakin memperlebar jarak hingga dia berada di penghujung ranjang.

"Aku harus gimana?" Aku berdiri, mengusap wajah dan mengembuskan napas dengan kasar.

Kupelankan suara biar terdengar selembut mungkin. "Kamu mau dengar apa? Aku nggak ngerti kalau kamu nggak cerita."

Mira tergelak. Untuk sesaat, aku terdiam. Dia berkata, "Masih ingin menyangkal?"

Kucoba meraih kedua tangan Mira, mengambil buku yang familier di sana. Bukannya mendapatkan yang kumau, dia justru membalik beberapa halaman di dalamnya. "Di sini. Di sini tertulis. Buku ini dari Abang!"

"Iya. Memang dariku." Aku mengangguk perlahan. Tidak ada gunanya mengelak. "Aku nggak pernah tahu buku itu akan digunakan untuk apa. Itu hanya ... buat seorang teman."

Mira menggeleng. "Teman?" Dia membuka lembaran lain dan membaca bait di sana, "Aku merindunya lebih dari apa pun. Dia penyelamatku, penyemangatku. He's my hero. He's my tutor. He's my love. Dia ... duniaku."

Sudut bibirku sempat naik saat sadari, perasaan ini tak bertepuk sebelah tangan. Kukira ... Runa mau dekat denganku sebatas orang yang mampu melindunginya. Tidak sejauh itu.

Namun, raut duka yang Mira tampakkan, menyadarkanku. Tanggung jawabku bukan pada Runa, tapi pada wanita di hadapan.

"Ngaku aja, Bang Zikri. Apa pernikahan kita dimulai dengan kebohongan?"

"Mana bukunya? Sini kulihat."

Mira mengusap pipinya lagi sebelum memberikan buku catatan Runa. Tampak punggung tangannya terlalu basah.

"Aku tidak mengawali hubungan dengan kebohongan. Aku hanya merasa tak perlu menceritakan."

Bahunya kembali berguncang, menutup wajah dengan kedua telapak tangan sementara aku membaca cepat lembaran di tangan.

Benar. Runa menuliskan garis besar tiap pertemuan kami dalam bait rasa.

Aku berjongkok di depan Mira. Meraih kedua tangannya dan menghapus bulir air mata yang membasahi pipi. Kupindahkan buku Runa ke sisinya dalam keadaan tertutup. "Kamu tahu?"

Mira menatapku, terpaksa, karena kedua pipinya berada dalam rengkuhan.

"Allah menutup aib seseorang untuk membuat dunianya jauh lebih baik."

Aku menggeleng, mengingat segala hal yang telah terjadi semenjak dosa-dosa kujalani sebagai kebiasaan.

"Tidak ada kebaikan dari Abang di masa lalu dan Allah tutupi itu karena mau Abang tidak lagi kembali pada masa-masa itu. Apakah pantas mengorek hal yang telah berlalu?"

Mira menunduk lagi. Namun, jemariku lebih cekatan untuk mengarahkan wajahnya. "Apa pantas mengungkit yang telah Abang dan Runa lalui, sedangkan di hadapan Abang ada ratunya para bidadari surga?"

"Jangan gunakan dalil untuk membenarkan perilaku Abang!" Mira memang berhenti menangis setelah mendengar penjelasanku, tetapi hidungnya terus menahan ingus yang mau keluar.

Lengan kausku mungkin nggak akan jadi masalah. Jadi, kuperpanjang saja hingga menutupi punggung tangan untuk mengelap wajahnya. "Abang minta maaf. Abang nggak punya tisu atau sapu tangan loh, ini."

Mungkin awalnya ragu, Mira mendelik padaku karena menyodorkan ujung lengan kaus. Namun, akhirnya diterima juga.

"Abang itu banyak fans."

"Siapa yang bilang?"

"Mira."

Aku malah menertawakan perkataannya sambil menunjuk diri ketika bercerita tentang banyak santriwati yang membicarakan tentangku di pesantren saat perjalanan pulang.

Hanya, satu hal kuralat. "Mereka tidak mengenalku, makanya dengan mudah memuji. Sama halnya mereka tidak mengenalku, maka mereka bisa jadi mudah menghujat. Tergantung dari sudut mana seseorang melihat atau berinteraksi denganku."

"Seperti kata Ali bin Abi Thalib, Bang?"

"Benar. Akan kuhitung temanku ketika kesulitan menimpaku."

***

Waktu kerja telah berakhir. Kulirik ruangan yang telah kosong dari para karyawan yang sempat berpamitan. Pulang?

Aku tergoda dengan benda yang tidak sengaja keluar saat aku membereskan ransel. Buku biru itu buku catatan yang Mira temukan. Milik Runa.

Ada namaku terpatri di sana dengan jelas. Begitu halaman terbuka... kubaca setiap barisnya perlahan, memahami posisi Runa saat mengingat setiap kenang di sana.

***

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang