Kosong.
Ya.
Hanya ada kosong. Setelah membuka mata-yang entah sudah berapa lama terpejam.
Tapi aku urung. Urung untuk bertanya. Bertanya pada langit-langit kamar, atau pun suster yang baru saja menyambangi-menyunggingkan senyum. Hal rutin yang agaknya ia lakukan tiap hari.
"Selamat pagi," sapanya. Lalu menanyakan hal-hal yang kujawab dengan gelengan.
Rasanya letih, berat lidahku bahkan sekadar untuk mengatakan "tidak".
Kusadari separuh kepalaku dibalut perban. Rasanya seperti ditindih batu berton-ton, begitu sakit digerakan.
Ya. Ini pasti karena kejadian kemarin.
Entah siapa pula yang repot-repot membawaku-menyambung nyawaku-ke sini, yang sebetulnya bisa saja lunas malam itu.
Apa susahnya membiarkan?
Membiarkan sesorang yang seharusnya mati sejak lama.
Kini aku mendapati diri, merasakan nyeri di tubuh, tak tertahankan di hati. Kembali memikul semua, mengingat setiap detail kejadian, pertengkaran itu lagi. Tatapan Ibu yang berlalu, juga perlakuan Papah.
Entah.
Apakah napas yang ada ini patut kusyukuri atau tidak. Kesakitan ini, penderitaan ini. Aku ingin semuanya berakhir. Aku sudah amat lelah menanggungnya sendiri.
Aku sudah tak punya harapan.
Bukankah harapan yang membuat orang malanjutkan hidup?
Lalu buat apa aku bertahan?
Lebih tepatnya, buat siapa?
Aku tak punya apa-apa, tak memiliki siapa-siapa untuk bersandar.
Lihatlah ini, di rumah sakit ini. Aku berani bertaruh! Tak akan ada seorang pun pasien yang masuk rumah sakit ini, dengan kondisi terluka sepertiku. Selain ...
Pasti ada yang menemani, ada yang membesuk.Tapi aku? Tak ada. Tak ada yang menginginkan aku. Tak ada yang mengharapkanku terus hidup.
Ah, kalian pasti mulai men-judgeku macam-macam, kan?
Aku tidak pandai bersyukur dan sebagainya. Iya, kan?
Jangan kalian katakan aku tidak pernah berusaha mengubah nasib. Aku sudah berusaha keras, jauh daripada yang kalian pikirkan.
Namun, sepertinya ... garis hidupku memang begini. Susah payah kucoba bangkit.
Tapi lihatlah. Aku kembali pada kubangan kotor ini lagi.
Derap langkah mendekati ruanganku terdengar. Entah siapa.
Haruskah aku pura-pura tidur saja?
Terlambat. Pintu terbuka. Pandangan kami bersirobok.
Bukankah itu dia? Pria waktu itu?
Mendadak pertemuan beberapa waktu lalu berputar di kepalaku.
Saat itu aku sudah mengambil ancang-ancang. Bertelanjang kaki. Mengembuskan napas. Memejamkan mata. Tinggal menunggu roboh saja.
Tapi, sebuah suara menginterupsi. "Mau lompat?"
Mau tak mau mataku terbuka, melirik sekilas. Seorang pria telah berada tepat di sisi kananku.
"Bukan urusan lo!" jawabku tak suka.
"Cuma mau lihat. Boleh gue rekam? Mungkin saja akan jadi trending di YouTube," ucapnya santai seringan bulu.
Yang benar saja!
"Gue nggak sedang bercanda sekarang!" jelasku agak keras.
"Ah, lo pasti belum makan."
"Enyahlah!" selaku datar.
Bagaimana pula dia bisa menebak bahwa aku belum makan.
Pria itu tergelak.
Benar-benar menyebalkan.
"Oh, jadi benar? Mari ikut gue ke restoran sana. Gue denger mereka punya steak yang manis."
"Terima kasih. Tapi gue nggak akan termakan bujuk rayu lo!"
"Oh, ayolah. Siapa pula yang merayu?"
Dan sebagainya. Ia memancing amarah, hingga aku kehilangan selera untuk bunuh diri.
"Nama lo Runa? Iya, kan?" sapanya, membuyarkanku dari lamunan.
Kudiamkan.
Aku tak mengerti mengapa semua orang suka sekali ikut campur.
"Hei! Kalau pun elo merasa berat berterima kasih, setidaknya lo jawab pertanyaan gue!" serunya lagi.
Aku membuang muka. Tak menggubris.
"Lo bahkan tak mampu bersikap baik."
"Why? Kenapa elo nolong gue?" tanyaku akhirnya. Napasku memburu. Dadaku panas.
"Karena lo membutuhkan-"
"Gue nggak pernah minta!" jawabku sengit.
Dia tertawa. "Lo lupa? Justru elo yang minta tolong!"
Benarkah begitu? Tidak. Itu tidak mungkin. Dia pasti membual.
Dari sudut mataku aku mengintip, pria itu bergerak keluar. Seperti memanggil seseorang. Kemudian menoleh lagi kepadaku.
Lagi, aku membuang muka.
"Teman gue yang nolong lo. Dia sedang ke sini. Bersikap baiklah padanya," tambahnya kemudian.
Ck! Dia pikir siapa? Memerintah orang sesuka hati. Enak saja.
"Sudah siuman?" sebuah suara dari ambang pintu. Suara yang sangat familier.
"Kenapa lama sekali ..., Zen?"
Deg!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIKR MAHABBAH
SpiritualZikri, putra seorang ulama terkemuka, justru jatuh cinta pada seseorang yang dibantunya. Gadis yang memohon perlindungan dan menyimpan banyak luka itu bernama, Aruna. Kesungguhan dan perjuangkan Aruna untuk sembuh, untuk bebas dari cengkeraman masa...