Aruna - 6. Serangan panik

3.2K 429 120
                                    

Zikri mengajakku menemaninya makan. Ia menawariku bergabung. Tapi aku tolak. Maka jadilah aku hanya memandanginya saja.

Baru saja kuberikan bekal itu padanya, Bu Rahmah langsung telepon memastikan apakah makanan itu sampai pada putranya.

Ya. Hal yang membuatku iri. Pemandangan ini adalah kehidupan yang tak kupunya, begitu kudamba.

Kadang saat kami bersama, umminya kerap telepon untuk memastikan anaknya sudah makan, atau sekadar memastikan anaknya tidak makan- makanan yang dilarang dokter.

Zikri punya riwayat sakit maag akut. Dia makan lebih sering dari orang normal. Empat jam sekali. Enam kali sehari.

Aku jadi sering bertanya banyak tentang bagaimana ibu, dan ayahnya-ustadz Musa. Kehidupan seperti apa yang dia miliki di rumah dan sebagainya.

Setiap kali dia cerita. Setiap kali pula kesedihanku bertambah. Mengapa Zikri bisa dapatkan semuanya dengan mudahnya? Mengapa aku nggak seperti dia?

Jika rumah sering disebut surga. Maka rumahku, neraka. Jangankan dimasakin, diingatkan makan seperti itu. Mereka bahkan tidak peduli apakah aku sudah makan atau belum. Tidak peduli jika tidak ada makanan tersisa di tudung saji untukku. Makanya aku lebih sering makan mie instan ketimbang nasi.

Sepertinya Zikri menyadari ekspresi murungku. Keningnya berkerut. "Kenapa?" tanyanya.

Aku menggeleng. Rasanya ingin menangis tapi mataku kering. Sejak Khaira mengumumkan kepergiannya, aku terpukul. Aku tak mampu memintanya tinggal. Pun menagih janjinya dulu. Bahwa apa pun yang terjadi, ia tidak akan meninggalkanku.

Aku tahu pengorbanannya sangat besar untukku. Dia menolak tawaran pertukaran pelajar ke Jepang demi menemaniku. Demi merawatku. Setiap malam dia melantunkan ayat suci Al Qur'an ke telingaku supaya aku bisa tidur. Menyisiri rambutku, memelukku ketika aku tak terkendali dan lainnya.

Tapi kemarin aku melukainya secara fisik. Dia jelas ketakutan. Lebih-lebih keluarganya. Dia bisa saja mati olehku jika Zen tidak cepat datang dan mengurungku dari luar.

Tapi sungguh aku tidak sanggup beneran ditinggal olehnya.
Duniaku rasanya oleng. Seperti kehilangan pijakan. Kurasakan kepalaku berdenyut. Pening luar biasa.

"Run, lo oke?"

***

Aku mengerjap. Tiba-tiba saja aku sudah berada di rumah sakit. Kulihat Zikri berdiri demi melihatku.

"Lo pingsan." terangnya.

Kucoba cermati wajah itu. Sosok yang mengisi hari-hariku dua bulan terakhir sejak aku bermasalah dengan Khaira.

Aku hanya memanfaatkannya. Menjadikannya pelampiasan amarahku sebagimana suster dan dokter.

"Lo beruntung!" ujarku tersenyum sarkasm.

"Lo juga."

Aku menggeleng. "Enggak, kita nggak sama. Lo bisa dapetin semuanya semudah itu, tapi gue enggak." ucapku langsung terduduk, menangis, cenderung meratap.

"Run. Tenangkan diri lo.
Plis, jangan mundur lagi!" Zikri mengguncang tubuhku berkali-kali.

Aku terus menangis.

Sekejab, perhatian kami teralih karena dering handphonenya yang berkedip di nakas. "Ummi is calling" begitu tertera di layar.

Kulihat Zikri hanya bergeming. Membiarkan ponsel itu hingga berhenti berbunyi. Menoleh ke arahku.

"Kenapa lo nggak angkat? Hah?" todongku dengan mata merah menyala. "Kenapaaa!" teriakku sehabis-habis suara.

"Istighfar!"

Aku membalasnya dengan seringai.

"Kenapa lo nggak angkat telepon Ibu lo? Jawab...! Jawab gue!"

"Ya, lo liat aja kondisi kita lagi gimana."

Aku menggeleng.

"Harusnya lo angkat, Zik! Lo angkat!" seruku menekankan.
"Asal lo tau. Gue harus minum cairan pel dulu, buat dapetin perhatian dari Ibu. Biar dia liat gue!"

"Iya. Iya. Gue akui gue salah."

"Gue harus sekarat dulu biar dia liat gue! Tahu nggak lo!"

"Okey. Sekarang lo tenang. Bisa?"

"Sakit, Zik. Rasanya tuh sakit. Lebih sakit dari cambukan ikat pinggangnya Papah tiap malem."

"Udah deh. Nggak usah diinget-inget lagi!"

"Apa? Nggak usah? Lo pikir gue senang apa nyimpen ingatan kayak gitu? Gue suka gitu? Apa perlu gue benturin kepala ini ke tembok biar lo percaya?"

"Enggak. Enggak. Cukup. Oke. Kapan bersyukurnya lo kalo terus-terusan kayak gini?"

Tubuhku gemetar. Darahku mendidih.

" Justru elo. Lo itu yang harusnya lebih banyak bersyukur, Zik! Bukan kayak gini! Lihat diri lo!
Lo nggak mikir apa gimana perasaan orangtua lo, kalo mereka tahu elo yang sebenarnya?"

Kulihat rahangnya mengeras. kuindahkan.

"Cukup." katanya berpaling. Memunggungi.

"Orangtua lo nggak pantas terima itu semua. Lo tahu? Lo nggak layak jadi anak mereka. Lo nggak layak jadi kakaknya Syifa. Mestinya lo malu!"

Aku menjerit, seketika.

Karena tiba-tiba saja meja kayu di sebelahku berbalik. Ditendang olehnya.

"Udah?" tanyanya mulai tersulut. "Mau lo apa sebenarnya?" tanyanya hadap-hadapan di depan mukaku.

"Putus."

"Fine!" teriaknya.

Dan pintu pun dibanting.

***

.

Bagaimana part ini? 😂😂

Vote+Comment dong!

Thankyou.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang