Aruna -16a. Ikhlas

2.2K 331 108
                                    

Tak terasa tersisa hitungan hari saja. Makin dekat pada hari H. Aku mencoba berpamitan. Aku bercerita panjang pada dokter. Dokter Lyn mendukung, terlebih ketika kusebutkan bahwa kemungkinan besar, aku akan berkuliah. Ia juga mengirimkan catatan khusus pada psikatri di sana agar pengobatanku bisa tetap terus lanjut.

Aku menyambangi pesantren. Menemui Ustazah Qonita dan Ustaz Muaz. Mereka mengabarkan bahwa lusa akan berangkat ke tanah suci dan menawari 'mau oleh-oleh apa?' aku bilang ke mereka, 'sebuah doa buatku di sana, sudah lebih dari cukup'.

Aku berpamitan ke yang lain juga. Para akhwat- teman-temanku. Adik-adik santri yang sempat ku-mentori bahasa Inggrisnya, mereka bahkan mengadakan acara perpisahan kecil-kecilan untukku.
Aku menerima beberapa kado, juga beberapa surat yang membuat mendung.

Di antara perpisahan yang paling bikin mewek adalah ketika berpamitan pada orang-orang di IC. Aku mendatangi setiap ruangan, tanpa terkecuali. Meminta diri kepada satu per satu orang. Cipika-cipiki, berpelukan. Beberapa di antaranya sukses membuatku berlinang dan sesegukan.

Perpisahan. Siapa yang sangka. Tadinya kupikir, aku akan selalu bersama dengan orang-orang ini dan ingin terus bareng mereka- Orang-orang baik yang memperjuangkan kebaikan. Senantiasa mengingatkan pada yang baik-baik, yang selalu mengajakku taat; shalat berjamaah-tak melewatkan satu hari tanpa Al-Qur'an, puasa sunnah dan lainnya.
Begitulah hidup. Segala sesuatunya pasti menemui ujung. Inilah akhir dari temu.

Segera kukemasi semua kado dan surat yang bikin netes. Memutuskan untuk membawa sebagian kecil, dengan sebagian besarnya kutinggalkan. Tak ingin terlalu banyak kenang, sebab aku pergi juga untuk melupakan.

Aku sempat mendatangi beberapa tempat. Seperti ke jembatan yang sering kusambangi. Memandangi air yang menderas di bawah sana, tempat yang menjadi saksi bisu.

Di sana, aku bisa melihat diriku yang dulu-yang begitu sangat gegabah juga kasihan. Kini, keinginan untuk bunuh diri itu sudah sirna sepenuhnya. Aku sadar bahwa diri ini bukan milikku, raga ini Allah yang kasih, dan aku hanya dititipi. Aku akan dimintai pertanggungjawaban
jika tidak memperlakukan diri ini dengan baik.

Aku sangat bersyukur. Segala upaya bunuh diriku berakhir gagal. Thanks to Allah yang teramat baik, yang masih memberiku kesempatan. Aku nggak bisa bayangkan ketika aku kembali menemui-Nya dalam keadaan terburuk. Dibangkitkan dalam keadaan bunuh diri-aku mengulangi kematianku berkali-kali.

Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu alaihi wasallam yang saat itu dikutip Ustaz Muaz.

Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan diadzab dengan itu di hari kiamat" (HR. Bukhari no. 6105, Muslim no. 110).

Dahulu ada seorang lelaki yang terluka, ia putus asa lalu mengambil sebilah pisau dan memotong tangannya. Darahnya terus mengalir hingga ia mati. Allah Ta'ala berfirman: "Hambaku mendahuluiku dengan dirinya, maka aku haramkan baginya surga" (HR. Bukhari no. 3463, Muslim no. 113).

Sebetulnya raga ini letih. Karena waktu yang kupunya begitu sempit. Beberapa hari belakangan aku masih harus menemani Mira, fitting gaun, ke sana ke mari, mengurus segala tetek bengek pernikahan.

Kumasukkan segala barang yang sebelumnya sudah kupisahkan ke dalam koper. Membuat daftar list apa lagi sekiranya yang belum. Tak terasa. Besok adalah hari pernikahannya, sekaligus hari kepergianku.

***

Detik-detik jelang akad. Aku masih tetap membersamai-dengan janji langsung ke bandara selepas usai, pada tante. Pesawatku dijadwalkan berangkat pukul setengah dua siang. Dengan dua kali transit.

Mira terlihat sangat cantik dengan setelan putih gading dan riasan tipis di wajah ovalnya. Untuk akad sendiri hanya dihadiri keluarga besar IC dan kerabat dekat saja. Adapun walimah akan dilakukan dua kali. Di IC dan seminggu setelahnya di gedung Aula pondok Az Zubair.
Prosesi dilakukan terpisah dari kami para tamu perempuan. Kami menyaksikan semua dari proyektor yang menampilkan prosesi akad tersebut yang dilakukan di bagian shaf laki-laki ruang masjid IC.

Mira menggenggam tanganku erat ketika ayahnya mulai mengucap ijab. Pegangan itu makin mengerat ketika tiba giliran pengantin pria untuk meng-qabul. Saat kudengar suara familier itu, setitik air mataku jatuh. Aku merapal doa dalam hati. Berharap Zikri tak terkendala. Lancar tanpa gangguan.

Seru bahagia bersahut-sahutan, tangis haru terdengar, ketika para saksi menyebut kata "sah". Pihak keluarga langsung menuju Mira, memeluknya bergantian.

Aku memilih menepi. Menjauh dari ramai yang kian membuat lemas. Menyibak kerumunan-memaksa setiap gerak dalam senyuman yang terasa pedih. Mempercepat langkah. Karena tiba-tiba saja ada sesak yang menyergap. Aku memutuskan berlari ketika dada ini terasa penuh seperti hendak meledak. Aku nggak boleh nangis. Nggak akan. Ingatku pada janji tadi pagi ke diri sendiri, untuk mampu tegarkan hati. Kendalikan diri.

Ya. Begitulah adanya aku. Sebentar kumampu teguh, kuat setegar karang. Berikutnya kurapuh, merana nggak berdaya. Merasakan sepi, dingin yang menyucuk, yang kerap hadir ketika kuterjaga dari tidur malam.

Kaki rasanya tak mampu menahan bobot tubuh ketika aku berhasil mencapai bagian belakang gedung- ruang penyimpanan kursi yang sekarang kosong-tempat di mana koper kusimpan. Dalam satu gerakan cepat. Aku nyaris berteriak ketika tiba-tiba saja Syifa muncul-membalik tubuh, merangkulku ke pelukan.

Tangis yang tadinya tertahan itu tumpah juga. Makin menderas ketika Syifa bilang, "menangis saja jika itu membuatmu lapang."

Aku tergugu, masih ingat ucapannya kemarin lalu ketika hujan-hujanan ke rumahnya. Saat kukeluhkan diri ini tidak mampu, padahal sudah berusaha untuk lupa.

Allah tidak akan menimpakan sesuatu kepada seorang hamba kecuali ia mampu mengatasinya.
Kalo kamu nggak sanggup, mustahil semua ini dititipkan-Nya padamu.

Allah nggak pernah zalim. Tidak ada musibah, kecuali disebabkan oleh ulah tangan kita sendiri. Berdua-duaan, bermaksiat kepada Allah, itu dilarang, Itu kesalahan, sehingga konsekuensi seperti ini yang harus kamu pikul sekarang.

Namun, meski begitu, meski ini karena kesalahanmu-ulah tanganmu sendiri, tapi, jika kamu mampu bersabar, tidak buruk sangka kepada Allah, dan justru malah membuatmu semakin ingin dekat kepada-Nya. Bertobat, memohon ampunan. Maka ini semua menjadi kebaikan, buatmu, Run.

Kamu bersabar maka pahala untukmu. Kamu sungguh-sungguh minta ampun, maka Allah akan menyayangimu. Allah mencintai hamba yang bertobat kepadanya. Itulah kasih sayang Allah kepada orang beriman.

Syifa membawaku duduk, memberiku minum.

Ketika aku sudah mampu mengendalikan diri kutanyakan padanya.

"Terus terang aku sudah melakukan semua yang kakak suruh. Menyibukkan diri dengan aktivitas kebaikan, berteman dengan lebih banyak orang, berusaha untuk tidak kepo atau stalking. Untuk sesaat aku mampu teralih tapi cuma sementara. Ketika aku pulang, sendirian. Aku kembali ingat dan hancur." Aku menyeka tangis dalam isak. "Mungkin... teori kakak itu, nggak berlaku, Kak, untukku."

Syifa beralih ke sisi, menghapus jarak- memusut punggung. Aku masih terisak. "Jujur aku rasanya lelah dengan perasaan ini, Kak Syifa. Tak pernah terbayang olehku, kalo aku harus lupakan semua. Terlalu banyak, Kak, banyak... kisah ini, seperti tiada usai untukku."

Kulihat ia tersenyum. Tak sangka aku akan curhat sejauh ini pada Syifa. Padahal tadinya aku sangat tak suka padanya. Bagiku, dulu, dia tak lebih dari orang yang merebut Khaira dariku. Membuatku jadi kehilangan perhatian. Tapi sekarang aku semakin bisa lihat kejujuran itu, ketulusan itu.

Syifa tidak hanya membual. Ia telah mengalami sendiri apa yang ia nasihatkan kepadaku. Ia pernah patah. Lalu kembali jatuh sejatuh-jatuhnya ketika kemarin Bang Akmal pergi-meninggalkannya untuk selama-lamanya. Salah satu alasan, yang membuatku bertahan lama di pondok, bersama Syifa. Membersamai ustaz, ustazah yang masih berduka.

Berat pastinya. Kehilangan calon suami seperti itu. Kudengar kemarin, ada seseorang yang datang melamar. Aku berharap semoga ia mendapatkan seorang yang soleh, yang terbaik, yang sesuai harapan dan yang dicita-citakannya. Aamiin.

Bersambung

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang