Aku memang meminta Zen menikahiku.
Aku ingin coba sekali lagi, meneruskan hidup. Di mana salahnya?
Aku butuh seseorang untuk bersandar dan di mataku cuma ada Zen yang bisa kupercaya.
Dia lah yang memperlakukanku seperti manusia– yang melihatku ketika yang lain membutakan diri.
Dia lah satu-satunya orang yang percaya bahwa aku tidak gila.
Satu-satunya yang bilang bahwa aku berhak bahagia.Dan, atas itu semua. Mereka masih men-judgeku jahat? egois?
Silakan saja!
Orang-orang itu benar.
Dunia itu memang tempat ketidakadilan. Keadilan itu mahal, dan hanya diberikan kepada mereka yang normal dan kaya. Tidak ada keadilan tersisa untuk orang-orang sepertiku.
***
Muhammad Zikri Naufal. Itulah namanya kata Suster Yana. Setelah kupaksa-paksa ia untuk cari tahu siapa sebetulnya yang lunasi tagihan rumah sakitku.
Ya, memang dia, pria aneh yang katanya ingin merekam aksi bunuh diriku kemarin.
Nah, dia itu, yang mengusikku akhir-akhir ini dan bikin jengkel. Asli!
Dia. Sewot. Banget.Kalian liat saja. Zen yang kuminta saja tidak marah. Kenapa pula, dia yang jadi kebakaran jenggot, nggak terima gitu?
Selepas hari itu, entah amnesia atau apa- padahal sebelumnya ia memarahiku habis-habiskan.
Keesokan harinya,
dia membesukku seolah tidak terjadi apa-apa.
Nyaris tiap hari. Bayangkan!
Tentu saja kuabaikan. Entahlah. Aku juga tak mengerti ada apa dengan diriku. Sering ditinggalkan dan dicampakkan orang membuat aku mendorong orang untuk jauh-jauh dari hidupku.
"Selepas dari sini, lo mau kemana? Gue denger dulu lo pernah ambil jurusan Design Komunikasi Visual. Itu bener?" tanya Zikri.
Aku hanya diam. Ya, aku memang pernah kuliah satu semester. Setelah nya berhenti karena sakitku kambuh. Tak ada yang bisa dibanggakan.
Aku memang perlu beberapa bulan di rumah sakit. Dokter bilang aku harus lebih stabil dulu sehingga bisa kembali bergabung di masyarakat.
Aku mengangkat bahu sebagai jawaban. Tidak tahu.
Dia tersenyum tipis. Oke. Sebetulnya Zikri ini... tidak buruk.
"Kalo elo belum tau mau kemana. Kebetulan kita juga sedang butuh orang untuk bantu-bantu di Islamic Center. Ada gajinya, kok. InsyaAllah nanti juga ada wisma untuk tinggal," tambahnya lagi.
Jujur. Aku masih tak tertarik. Jadi ya, kudiamkan saja.
"Kalo begitu, gue permisi. Gue bawain lo ini. Lo suka masakan Jepang katanya?" Zikri mengangkat bungkusan plastik, memindahkannya dari kursi ke atas meja.
Aku diam. Menatap bungkusan itu. Dia menyogokku. Lagi?
Dasar. Supaya apa, coba!
Ya. sebetulnya aku suka, sih, dibelikan begini. Lagian aku bosan masakan rumah sakit. Tapi, nanti lah. Jangan keliatan banget lah, kan?
Aku mengangguk. "Makasih. Suster Yana yang suka. Iya, kan, Sus?" tanyaku pada suster yang diam saja sejak tadi.
"Eh..? Bukan. Saya nggak suka
fastfood." suster Yana gelagapan.Yah, yah. Suster Yana ini nggak asik banget! Akting kek, gitu. Demi aku. Ah. Sebel!
"Tidak apa-apa. Asal dimakan. Jangan dibuang." Katanya berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIKR MAHABBAH
SpiritualZikri, putra seorang ulama terkemuka, justru jatuh cinta pada seseorang yang dibantunya. Gadis yang memohon perlindungan dan menyimpan banyak luka itu bernama, Aruna. Kesungguhan dan perjuangkan Aruna untuk sembuh, untuk bebas dari cengkeraman masa...