Aku memutuskan memberitahu Syifa semuanya. Kecuali, tentang siapa orang yang bersangkutan itu. Terus terang belum berani. Pokoknya nggak terbayang deh, kalo Syifa tahu laki-laki yang kumaksud itu adalah abangnya sendiri.
Syifa memintaku untuk jangan larut dalam sedih. Aku butuh pengalihan, katanya.
Tersebab dia lagi rempong di kantor Ustadzah Qonita, aku dimintanya ikut ke sana. "Supaya nggak mikir macem-macem," begitu.
Aku menurut. Di sana aku ikut membantunya mengurus administrasi pondok, bersama akhwat yang lain. Pokoknya aku diusahakan buat nggak bengong aja. Berkali-kali aku ditegur, diajak ngobrol biar nggak ngelamun.
Syifa mengajakku kemana pun. Menemui wali santri, termasuk ikut ke dalam sidang "Syuro" pondok-di mana segala sesuatunya diputuskan-yang dulu hanya kutahu namanya saja.
Aku juga sempat ikut ke rumah Ustazah Qonita, dan melihat sendiri Ustaz Akmal yang sakit-terlihat kurus. Dia sempat tersenyum kepadaku ketika kulewati kamarnya, lalu kemudian kembali menyibukkan diri dengan al Qur'an.
Aku senang bersama Syifa. Aku sering menemukan banyak jawaban atas segala tanya dan gundahku. Sambil mengupas bawang kutanyakan padanya.
"Menurut kakak, apa aku bisa move on?"
"Pasti bisa!" sahutnya tanpa menoleh, sibuk memindahkan kerupuk yang baru aja digoreng ke penyaringan supaya kering.
"Emang kakak pernah? Bisa gitu move on?"
Syifa diam. Mematikan kompor lalu menarik kursi di sebelahku. "Pernah, dan bisa. Alhamdulillah, udah nggak baperan lagi. Ya. Meski sampai sekarang, aku masih jaga-jaga."
"Tapi faktanya di lapangan banyak, Kak, yang nggak bisa. Ada yang sampai jatuh sakit, stress juga... sampai bunuh diri."
"Bukannya nggak bisa. Tapi nggak mau."
Aku mengernyitkan dahi.
"Bagaimana kalau persoalannya bukan 'nggak mau'. Tapi nggak mampu?"Syifa tersenyum. "Nggak ada yang kayak begitu."
"Ada!" seruku meninggi sampai Syifa pun terlonjak kaget-beristighfar. "Sorry, maksudku ... ada, Kak." tambahku mengoreksi dengan nada rendah, menunduk.
Jujur, ini kelemahanku. Memang sulit mengendalikan diri. Makanya, orang banyak yang benci. Emosiku cenderung meledak-ledak. Sebagian teman bilang, aku ini labil, ada juga yang bilang aku nggak tahu sopan santun.
"Begini, Dek. Dalam hidup kita manusia punya tiga potensi. Pertama, disebut hajatul udowiyah. Kebutuhan jasmani. Yakni kebutuhan yang harus kita penuhi, tidak bisa tidak. Nah, kamu tebak, kira-kira apa?" tanyanya sambil ikut membantuku mengupas bawang.
Aku mengerjapkan mata yang perih. "Makan?"
"Yap. Benar! Salah satunya adalah makan-minum. Kebutuhan yang harus kita penuhi, tidak bisa tidak. Kebutuhan yang pasti muncul dari dalam diri manusia sendiri. Kita lapar maka mesti makan, kita haus maka mesti minum. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan menimbulkan kerusakan. Kita kekurangan makan dan cairan maka kerja organ tubuh akan terganggu. Akan membawa sakit, dsb.
Kebutuhan ini sifatnya bisa ditunda tapi nggak lama. Rasa lapar, dan haus, itu akan muncul lagi terus dan terus, hingga kebutuhan itu kita penuhi. Trus, kira-kira apa lagi?"
"Pakaian? sandang, papan." Jawabku sekenanya, yakin benar.
Tapi Syifa menggeleng. "Bukan. Ayo pikirkan lagi. Kira-kira apa? kebutuhan yang jika tidak kita penuhi akan berujung kerusakan bahkan kematian."
"Bernapas?"
"Bisa. Tapi kita bernapas otomatis, Dek. Nggak perlu pasang oksigen dulu. Nggak perlu diusahain dulu. Otomotis aja gitu napas. Udara juga gratis."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIKR MAHABBAH
SpiritualZikri, putra seorang ulama terkemuka, justru jatuh cinta pada seseorang yang dibantunya. Gadis yang memohon perlindungan dan menyimpan banyak luka itu bernama, Aruna. Kesungguhan dan perjuangkan Aruna untuk sembuh, untuk bebas dari cengkeraman masa...