Aruna - 14. Save him

2.2K 328 189
                                    

Kedatangan kedua, ke rumahnya. Aku lebih memilih ngacir ke ruang tengah mengikuti seorang mbak yang kabarnya baru saja dipekerjakan di rumah itu. Selepas mengantar peganan dan yang lain-bukannya kembali, aku malah memilih duduk menyaksikan TV yang menyala, ditinggal si mbak yang tengah pergi membeli sirup.

Aku sontak bangkit ketika mendapatinya datang ke arahku yang tengah duduk di meja. Mengambil gelas, menuang teko di dekatku-yang baru saja kukeluarkan dari kulkas.

"Di luar sudah ada air." jelasku terbata-mengoreksi tindakannya. Entah akan digubris atau tidak. Aku sudah tidak tahan dengan sikap santainya.

"Nggak dingin. Pembicaraan orang tua bikin gerah."

Aku tertoleh demi mendengar jawabannya. Pandangan kami terkunci beberapa saat. Cepat saja mata ini kualihkan, buru-buru melangkah. Tak ingin berlama-lama.

"Sudah dua kali. Ngapain masih datang?" tanya yang sukses membuatku membeku.

"Bukan urusan lo."

"Lo pikir gue bercanda?" Darah berdesir seketika saat lenganku ditariknya. "Berhenti menyakiti diri sendiri!"

"Lepas?" tuntutku dengan mata menyala, unjuk perlawanan.

"Berhenti keras kepala."

"Berhenti sok peduli!" hardikku lebih tinggi, air mataku tumpah.

Dia tertawa sarkasm. Melepaskan cengkraman. "Lo yang kemarin minta gue setuju untuk ini, dan sekarang, lo nangis?" nada bicaranya seakan menghujam tanpa ampun.

"Lo nggak akan ngerti!"

"Bagian mana yang gue nggak ngerti? Arti tatapan rindu lo itu, atau tentang lo yang cemburu ketika gue deket sama Mira?"

"Cukup!" tangisku makin jadi.

"Ah, mumpung semua lagi di sini. Kenapa tidak kita umumkan saja, hm?"

"Lo gila!"

"Ayo kita umumkan!" tanganku langsung ditariknya. Aku sekuat tenaga berusaha menahan laju-melepaskan diri.

berhasil bebas. Nyaris saja kami menggapai sekat pembatas ruang tamu dan ruang tengah.

"Mau lo apa sebetulnya?!"

"Menghilang sepenuhnya dari hidup gue!"

***

Bukan pasrah. Tapi aku hanya mencoba jalani garis takdir yang ada. Aku lelah berontak.

Tak banyak yang berubah. Aku masih tinggal di wisma bersama Mira dan terkadang kami bisa saja bertemu dengannya.

Sore itu, selepas ashar ketika hendak pulang. Aku mendapati mereka sama-sama menadah hujan. Betapa manis, bisa kembaran begitu tanpa ada aba-aba sebelumnya.

Orang-orang di sekitaran heboh. Aku mengurungkan kaki untuk tidak segera menghampiri mereka. Mira masih menunggu. Kurasakan ponselku bergetar-panggilan darinya.

Setelah yakin dia pergi, aku langsung turun. Namun, layaknya sebuah film. Scene diatur sedemikian rupa, demi mendapat klimaks. Dia, tiba-tiba saja datang dengan motornya. Bermandikan hujan dan memberikan payung pada Mira layaknya hero.

Langsung membeku. Tatap kami segera bersirobok-hingga dia memutus kontak lebih dulu. Memberikan pesan; jangan kecapekan, jangan hujan-hujanan, banyak-banyak istirahat. Manis sekali untuk Mira, memporak-porandakan hati untukku.

Aku butuh bernapas. Membatalkan rencana janji pulang bersama lalu pisah. Aku langsung memberikan payung dari Mira pada yang lain. Aku akan belajar melepaskan segala hal tentang dirinya mulai sekarang.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang