Aruna - 11. Luka

2.5K 358 149
                                    

Kamu pernah teramat rindu kepada seseorang sampai-sampai ingin memutar waktu lebih cepat hingga lekas tiba hari pertemuan itu?

Aku pernah. Itulah kiranya yang kurasa.

Aku merindunya lebih dari apa pun.
Dia penyelamatku, penyemangatku, He's my hero. He's my tutor. He's my love. Dia ... duniaku.

Dia lah yang pertama meyakinkanku bahwa aku baik.
Dia... yang buatku percaya bahwa aku bisa sembuh. Dia yang sabar hingga buatku tegar.

Dia yang selalu bilang; its okay, semua akan baik-baik aja.

lo sudah berusaha keras. Its cool.

Tetaplah begitu.

lo itu baik. Gue seribu persen percaya.

lo layak disayang,

lo itu istimewa.

Percaya ke gue. Suatu hari mereka akan nyesel karena telah memperlakukan lo buruk.

lo itu berharga, Run.

Siapa bilang gue kasihan?

Harus diulang berapa kali biar lo percaya?

Gue cinta, itu kebenarannya.

Begitulah.

Nampan harapan kembali terisi. Terasa kokoh, begitu kubangga, kujunjung tinggi.

Enam bulan aku belajar islam dan sabar-menunggu. Berusaha agar layak untuknya. Mengusahakan apa yang kubisa, semampuku. Mati-matian menahan letih dan keluh.

Lalu dia hadir dengan mengejutkan- sungguh membahagiakan. Tadinya kupikir mungkin inilah pelangi setelah hujan itu. Tapi aku salah.

Kalian nggak sekufu!

Kalian nggak sekufu!

Kalian nggak sekufu!

Sungguh tololnya aku yang tak pernah memikirkan hal itu.

Siapa aku sehingga layak mengandai bersanding dengannya?

Siapa aku sehingga bermimpi meraihnya?

Siapa aku?

Aku bahkan nggak layak dan sangat nggak pantas untuk siapa pun.

Pahit mengakui. Tapi benar.
Kami... berbeda.

Bagai Brahmana dan Sudra. Kami nggak 'kan mungkin bisa satu.

Luka itu tak terhindarkan.

harapan itu... yang aku bergantung dengannya. Telah redup.

Mimpiku mati.

Tak ada yang bisa kuperbuat selain menghindar. Dan itu menyakitkan.

Semakin membuat perih karena lagi-lagi aku melukainya.

Aku nggak suka kekerasan yang Papah perbuat terhadapku; ia senang mencampakkan apa pun. Ia melempariku obeng, asbak-apa saja yang ada di tangannya, jika marah.

Sakit.

Tapi nyatanya justru aku yang malah meniru kekerasan itu tanpa sadar, dan menorehkan rasa serupa.

Zikri.
Entah berapa kali dia terluka karenaku. Dan dia masih saja seolah tak terjadi apa-apa.

masih saja sempat-sempatnya berkelakar. Bertanya, apakah kami cocok?

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang