Aruna - 20. Medan Dakwah

2.1K 346 137
                                    

Jelang sampai ke ruangan di mana Papa dirawat, kecemasan melanda. Ada ragu, khawatir, takut, yang menyergap. Semakin dekat kami pada tujuan, semakin gentar rasanya, hingga aku menghentikan langkah.

"Kenapa?" Dede menoleh heran. Kujawab dengan gelengan dan mengembuskan napas panjang.

Bahkan cerca, cela, yang sudah lama tiada seolah mencuat ke permukaan.

Dede sepertinya menyadari perubahan air mukaku. Ia pun menarikku, "dingin," katanya setelah menggenggam tangan. Berkeringat dingin lebih tepatnya.

Tanpa berkomentar, ia menggandengku seolah berkata, semua akan baik saja. Jangan khawatir, kakak nggak sendiri.

Begitu pintu dibuka, dan menuju bilik yang hanya disekat oleh kain hijau itu, kulihat ada Ibu di kursi kayu, tengah melipat beberapa pakaian kering di pangkuan.

"Bu, lihat siapa yang datang!" sapa Dede riang lalu langsung menyalami Ibu. Aku menuruti dari belakang, dengan ragu meraih tangan itu dan menempelkannya ke pipi.

Kupikir tidak ada saat-saat canggung melebihi ini. Dede langsung keluar setelahnya tanpa sempat kucegah. Mungkin, dia mengira aku butuh ruang untuk bicara empat mata. Nyatanya, aku takut ditinggal sendiri.

Aku tak mungkin lari. Dengan kikuk kutarik kursi plastik terdekat dan mengambil duduk di sisi Ibu dengan sedikit berjarak. Ada pun Papah tengah tertidur. Syukurlah. Aku perlu waktu untuk dapat menghadapi keduanya sekaligus.

Kuteliti, lama. Turut sedih melihat keadaan Papah yang tampak ringkih, nggak berdaya. Seolah aku sudah tidak bertemu dengannya bertahun-tahun.

"Apa benar tidak ada ingatan akan hal baik tentang kedua orangtuamu?"

Begitu tanya Ustazah Ina, tempo hari. Aku menggeleng. Ingatanku terbang ke masa kecil. Saat Ibu dan Papah masih akur, aku diperhatikan, belum ada tuntutan belajar, dan harus jadi yang terbaik. Dan yang terpenting, belum ada teriakan dan pukulan setiap hari.

Ya, kurasa itulah masa-masa terbaik kami. Saat ibu masih berstatus karyawan biasa-yang posisinya belum lebih tinggi dari Papah. Saat kami masih sering liburan ke mana saja di akhir pekan, dan Ibu masih sering memasak di rumah, tidak bersikap diam dan sangat tertutup seperti sekarang.

kerongkongan rasanya tercekat. Sulit untuk membuka obrolan. Bingung harus mulai dari mana. Harus bicara apa.

"Ibu ... sudah makan?" tanyaku terbata. Ya, hanya tanya itu yang ujungnya-ujungnya terucap

Beliau mengangguk. "Sudah. Ibu tadi sudah sarapan sama-sama Papa."

Aku hanya ber-oh, pendek. Ragu-ragu bertanya lagi. "Ibu ada kepengen? mau kubeliin sesuatu?"

"Nggak pa-pa. Nggak usah," katanya.

Aku diam lagi. Ibu pun sama. Aku merasa tidak harus bicara banyak. Kenangan buruk begitu mendominasi, dan aku takut kata-kata justru membuat ingatan jelek itu terbit.

Aku takut kalau bicara panjang justru disela. Aku takut bila berkata banyak, justru mengundang debat dan masalah baru. Aku takut jika membantah, justru ditampar. Meski kutahu. Ibu nggak akan pernah memukulku.

Aku masih diam. Tak menoleh lagi. Bingung harus bagaimana. Rasanya aneh di sini. Kutatap dua ujung sendal yang sengaja kugerak-gerakkan, menggeser-gesernya di ubin.

Seketika kaget, karena tiba-tiba saja ibu memelukku penuh kerinduan.

"Kakak sehat?" tanyanya menanyakan kabar. Kukatakan baik. Ibu mengaku merasa kehilangan diriku beberapa waktu terakhir. Ada air mata menggantung yang sengaja kutahan. Pelukan seperti ini yang kuharapkan sejak dulu, namun tidak kuperoleh. Dalam hati, sebuah tanya besar timbul. Apa mungkin semua dapat diperbaiki?

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang