Zikri - 13. Sesak itu masih ada

594 91 88
                                    

Aku mencintaimu, Runa
Bahkan meski raga telah bersanding dengannya
Jiwa ini telah menetap pada satu labuan
Tidak mampu berbagi
Tidak mampu pula memilih

Jadilah mentari untuk dunia, Runa
Jangan patah
Aku mendukungmu meski tiada
Mungkin nanti
Akan datang saat yang tepat
Untuk kita
Untuk kamu

Pesan terkirim. Itu yang terakhir kuberi sebelum melupakan semua sesuai permintaannya.

***

"Baru pulang, Bang?" Zima bersandar pada daun pintu kamar, mengamati gerakan tanganku saat mengeluarkan beberapa jenis kamera di meja.

Aku mengangguk, memaksa senyum terukir. Foto-foto di layar tak lagi menampakkan sosoknya. Zima benar-benar menghapus semua kenangan Runa dalam memori kamera.

"Berusaha jadi seorang yang 'afif*, Bang," kata Zima. Dia mengingatkan ucapan yang pernah kutujukan padanya, dan itu kembali padaku. Ucapan ketika Zima katakan merasa debar pada seorang gadis saat menginjak SMA.

Harus menjadi contoh yang baik, ya?
Aku menertawakan setiap kata yang pernah terucap untuk mengarahkan adik-adikku. Tidak lebih dari seorang munafik yang menginginkan kebaikan untuk saudaranya.

Zima menggaruk sudut pelipisnya dengan telunjuk sebelum mendekati meja.

"Bang. Cewek yang Abang foto waktu itu ... ada di bawah."

Aku tergelak, tak percaya. "Jangan bohong kamu!"

"Kak Syifa sama calon istri abang datang tadi siang. Ada cewek itu juga. Cantik. Pantas Bang Zikri khilaf."

Zima langsung berlindung ke belakang dinding ketika kulempari kuas-kuas dari meja. Kepalanya menyembul, menjulurkan lidah sebelum bicara lagi.

"Kenapa nggak sama dia aja sih, Bang?"

Aku menggeleng sebelum berkutat lagi dengan kamera di tangan. Lensa depannya berembun, mungkin karena cuaca dingin di musim hujan belakangan.

Aku mendongak sesaat, mengingat pembicaraan di pesantren mengenai keinginanku meng-khitbah** Runa.

Banyak hal yang harus kami lalui jika berkeras maju bersama ego.

"Bilang Ummi, orang tua Runa bakal jadi penghalang yang sulit. Runa masih memiliki mahram yang wajib menjadi walinya."

Zima mengangguk pelan seraya mengembalikan kuas-kuas ke atas meja. Aku berpindah pada kamera lain, mengarahkan blower pada sisi lensa yang berdebu. Kebanyakan kamera tersimpan pada rak kaca di sisi meja jadi tak terawat.

Akhir-akhir ini aku lebih sering menggunakan mirrorless. Mencari tahu bedanya dengan DSLR selain view nyata.

"Bang Zikri tadi nggak lihat?"

"Nggak. Abis kehujanan, sampai rumah langsung mandi."

Intonasiku tetap datar, tidak menunjukkan perasaan sebenarnya. Mereka mungkin meminta Mira mampir juga biar aku bisa move on setelah memutuskan mengkhitbahnya. Tapi, kenapa harus ada Runa?

"Ya, Kak?" Zima bergeser ketika gadis yang dimaksud sebagai calon istriku mengantarkan teh hangat dan potongan kue di nampan.

Iya. Kuingat namanya Mira. Jilbabnya panjang, dan cenderung menunduk saat meletakkan di meja. "Ummi nyuruh kasih ke Abang."

"Cie ... yang sekarang dipanggil abang sama yang lain." Ingin rasanya kujahit mulutnya Zima. Berasa ngaca kejailan di masa remaja.

"Apaan?" Kulempar kain di tangan ke wajah Zima sebelum ucapkan, "Terima kasih," pada Mira.

Gadis itu langsung mengangguk sebelum pergi. Bisa kulihat gadis lain menghampirinya di luar ruangan saat ingin berpesan.

Runa. Itu Runa. Dia sempat menoleh. Wajahnya cemas saat bertemu tatap, dan aku memutus lebih dulu.
Sesak ini masih terasa. Semakin terasa, menekan, sampai harus menopang diri dengan menahan tangan di dinding.

"Abang?" Zima menghampiriku karena tak kunjung masuk kamar.

"Ada apa?"

"Nggak. Nggak apa-apa." Aku lebih dulu masuk kamar, mengunci dari dalam sebelum Zima berniat mengajakku bicara lagi.

Bahkan sekadar berdiri pun terasa sulit. Melepas candu seolah melumpuhkan gerak.

Zima di luar masih terus meneriakkan namaku. Namun, di sini, aku terluka.

***

* Orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya cenderung kepada perkara tersebut dan menginginkannya.

** Melamar.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang