Zikri - 8. Stalking

771 134 143
                                    

"Kamu mau aku tutup mulut, Bang?" Zen datang menghampiri.

Aku masih betah membidik suasana malam dari ketinggian bangunan saat menjawab, "Nggak."

"Jadi, kenapa ngajak ke sini?"

"Aku nggak punya teman bicara. Anggap aja gitu."

Sekilas kulihat Zen memastikan ritsleting jaketnya dan memasukkan tangan dalam saku. "Aku belum bicara sama siapa pun," akunya.

"Nggak nanya."

"Bang Zikri nggak takut aku cerita?"

"Buat apa? Toh, kalau takdir harus terungkap, meski disembunyikan juga akan tetap terbukti akhirnya."

Kudengar helaan napas berat dan kasar. Mungkin dia kecewa. Siapa pun pasti akan berpikir demikian jika memasang ekspektasi terlalu tinggi dan aku harus selalu siap dengan konsekuensi.

"Kenapa Bang Zikri sama Runa–aku masih nggak habis pikir."

Zen mengikuti langkahku menuju sisi lain pembatas rooftop. Salah satu spot yang aku suka dari tempat kerja di perusahaan yang bergerak pada bidang advertising.

"Aku mau melamarnya, tapi nggak mungkin kalau salah satu dari kriteria Ummi tak terpenuhi."

Meja menjadi penengah di antara kami. Beberapa jenis kamera tersusun acak bersama tas dan kain microfiber. Zen duduk di seberangku sambil mengamati.

"Bang, jangan main-main. Khaira sudah pergi setelah pernikahan kalian batal. Jangan jadikan Runa pelarian."

"Pelarian?"

Aku menertawakan pendapatnya yang pendek. Siapa yang mau menjadikan pernikahan sebagai pelarian?

Kusemprotkan sedikit cairan pada kain sebelum mengelap permukaan lensa kamera di tangan. Syukurnya lampu yang kubawa cukup terang untuk memastikan kebersihan lensa.

"Nggak terganggu, Bang? Yakin bisa bersih?" Zen mengambil kamera yang telah kubersihkan dan mencoba beberapa bidikan padaku.

Pembicaraan kami tentang Runa teralihkan sementara. "Belum punya waktu. Besok sudah harus digunakan."

Aku mengecek tampilan foto yang diambil pada malam hari. Lampu-lampu kota dari ketinggian memiliki kecantikan tersendiri. Seperti bintang, tapi tak perlu mendongak.

Seperti Runa, keindahan ketika melihat seseorang yang jauh lebih menderita daripada aku. Terkadang, sulit untuk menahan diri tidak menyentuh. Melihatnya dari jauh seperti para lampu di malam hari begitu cantik. Namun, dari dekat menjadi duka, kepedihan, dan rasa sakit.

Kejam kali, ya? Mungkin melihat hidupnya, aku merasa punya jalan yang lebih baik. Orang lain tidak akan mengerti.

Senyumannya saat menghadapi buku-buku. Celotehannya saat kesal. Ah, aku sangat menikmati saat-saat menggodanya dengan berbagai sarkas. Dia takkan mampu sembunyikan perasaan padaku dengan kelabilan emosi seperti itu.

"Jangan bilang Bang Zikri mau bepergian lagi." Selentingan ucapan Zen membuyarkan pemikiranku.

Memang benar. Aku harus menggantikan ayah dalam kegiatan tadabbur alam. Bukankah sayang dilewatkan?

"Kecelakaan mengharuskan Ayah istirahat total. Lihat perbannya, kan?" Kuperagakan gerak melingkar pada tangan dan kaki sebelum berdiri.

"Berapa lama?"

"Beberapa hari. Setelah itu, aku mungkin bakal sibuk dengan pekerjaan."

Zen terdiam. Bukan kehabisan pertanyaan, tapi menunjukkan beberapa foto Runa dalam memori kamera yang dipegang.

"Perbanyak shalat taubat, Bang. Kali dirimu bisa temukan ketenangan dan jodoh yang sesuai."

Jodoh yang sesuai?
Dia hanya belum mengenali kehidupanku yang sebenarnya, tetapi benar, aku butuh banyak-banyak menyesali setiap dosa di masa lalu.

Zen benar untuk satu hal. Taubat. Taubat yang harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.

Perihal surat peringatan, aku sudah negosiasi dengan tim internal buat merundingkan kekurangan desain yang kupresentasikan secara dadakan begitu jam kantor selesai.

Tidak profesional, tapi waktu yang dimiliki terlalu sempit. Termasuk waktu untuk Runa. Aku harus membuat jarak, memastikan. Jika dia memang jodohku, maka Allah akan mendekatkan kami dengan cara yang baik.

***

Dari salah satu menara di IC, kubidikkan lensa kamera pada sosok Runa di kejauhan. Bantuan lensa tele, beberapa penyetingan mampu menunjukkan citra dirinya dengan jelas.

Tawa yang berderai ketika berinteraksi dan bertemu sesama muslimah. Pakaian yang menutup aurat dengan sempurna. Kuharap kehidupannya pun jauh lebih baik ke depannya.

Seperti kukatakan sebelumnya, kalau aku belum menyerah. Melihatnya dari jauh sudah mampu memberi kesejukan tersendiri, meski menambah kerinduan berinteraksi.

"Kangen elo, Run. Tiap lo salah tingkah, gue terhibur."

Sudut kanan bibirku refleks naik jika membayangkan setiap kali wajahnya merona tiap kudekati. Dosa yang disengaja. Darahku terasa bergejolak setiap menyentuh jemarinya, bertemu dan saling menggenggam di depan mata.Sengatnya masih terasa.

Terkadang tergoda menyentuh lebih jauh dari sekadar menyisir helai rambutnya melewati jari. Sayang sekali keindahan yang Allah ciptakan sepertinya terluka begitu dalam.

"Perhatian seperti apa yang lo butuhin, Run?" Pertanyaan yang selalu berakhir dalam kebisuan, karena Runa sendiri justru melakukan banyak hal mengerikan hanya untuk diperhatikan.

Refleks aku menjilat bibir karena menginginkan hal yang belum halal. Aku takut lepas kendali jika terus bersamanya.

Setiap jumpa, banyak kesempatan, celah yang setan bisikkan dalam dada jika Runa pun menerima tiap perlakuanku dengan sadar. Aku bisa saja melanjutkan jika tidak ingat memiliki Ummi dan Syifa.

Entah. Mungkin Allah memperkuat keinginanku untuk lebih bersyukur dan menjaga setelah bertemu Runa.
Ketika aku menarik diri pada setiap sentuhan agar tidak berbuat terlalu jauh.

Ketika aku lebih memilih keluar kamar daripada melecehkannya saat tertidur.

Mungkin, jika saat itu aku menuruti syahwat, Zen yang melihat akan lebih kecewa. Dia mungkin akan mempertanyakan kenapa cowok sepertiku dari lingkungan baik, dididik dengan baik, tetapi masih melakukan dosa.

Ayolah! Aku juga manusia yang tak pernah berpuas diri. Aku butuh banyak alibi untuk memperkuat logika tentang hal yang kuyakini.

"Salat, Akh!" tegur salah satu relawan yang menghampiriku. Dia menyadarkan jika azan baru berakhir.

Aku beristighfar, terlalu larut dengan pemikiran tentang makhluk-Nya sampai melupakan jawaban atas panggilan-Nya.

Kulepas lensa tele dari kamera dan memasukkan segala perangkat dalam tas. Memenuhi panggilan shalat itu wajib, tapi tidak dengan terburu-buru. Bahkan dalam hal ibadah pun setan masih membisikkan rasa was was.

Ayah bilang, "Masih bisa masbuk* dengan ketentuan bukan kesengajaan terlambat memenuhi jamaah shalat."

Kujawab panggilan iqamat dengan membisikkan kalimat serupa sementara menyusuri tangga turun sampai lantai dasar.

Harapku hanya satu, "Ya Allah, berikan ketenangan pada hatiku dan dirinya."

***

* Masbuk: Ketentuan mengikuti shalat yang telah berlangsung sesuai gerakan imam. Jika tidak sempat mengikuti rukuk bersama imam pada rakaat pertama, maka menambah satu rakaat setelah salam tahiyyat akhir. Berlaku juga untuk ketinggalan rakaat berikutnya.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang