Beberapa hari jelang hari H. Sangat riweuh. Semua orang sibuk. Mendekor rumah, merias kamar, memasak lauk pauk, memasang tenda dan yang lainnya. Kami memang tidak menyewa jasa EO.
"Mending uangnya ditabung saja," ucapku serempak dengan Kak Alvi waktu itu, tanpa sengaja. Hal yang akhirnya bikin kami saling senyum-yang membuatku kian yakin, aku sepertinya akan mampu hidup bersama dia. Seketika pula wajahku memerah, saat itu. Duh. Sampai digodain orang-orang sekeliling, masa. Benar-benar malu..
Dan MasyaAllah-nya siapa sangka para santri didatangkan ustaz ke sini, untuk membantu segala keperluan acara. Aku sungkan sekali kepada orang-orang. Aku tidak boleh melakukan apa pun bahkan sekadar hal remeh seperti melipat tisu.
Pokoknya kamu harus fokus! begitu mereka bilang. Aku bahkan nggak ngerti bagaimana caranya fokus pada saat seperti ini. Maksudku. Aku mengerti kalau orang mengatakan kalau aku harus fokus "belajar". Aku tahu belajar itu seperti apa. Aku membaca, mencatat, meringkas, mengingat, menyimpulkan dan sebagainya.
Aku menghindarkan diri dari segala hal yang akan menganggu fokusku belajar. Menjauhkan ponsel, pilih tempat yang nyaman dan hening, nggak berisik. Namun ini? Bagaimana?Aku akan segera menikah. Lusa aku akan akad dan di-make over. Tapi toh aku juga akan pasif saja. Aku tidak perlu menghafal apa pun. Pakaian, riasan, ada orang lain yang mengerjakan. Aku tetap tidak tahu apa yang harus kufokuskan. Alhasil aku masih mencuri bantu. Meski kena omel ibu kalo kedapatan. He-he.
Hingga hari H tiba. Subuh itu entah kenapa hatiku mendadak tak nyaman. Kutanyakan ke orang-orang. Mereka bilang itu hanya perasaanku saja. Kucoba pastikan. Kukirim pesan text ke Kak Alvi. Ya, dia akan bertolak dari kontrakannya ke sini jam sembilan pagi nanti. Rupanya ia sehat walafiat dan nggak meninggal. Astaghfirullah. Aku mendadak jadi parno-an gini. Kucoba cek ke sekeliling, pelengkapan, semua oke siap terkendali, tak ada masalah. Ada apa ini? Mengapa rasanya begitu gusar?
Pukul delapan seperempat aku sudah hampir selesai dirias. Mbaknya masih merapikan khimarku, tinggal menyematkan beberapa peniti saja. Kudengar orang-orang sudah mulai berdatangan. Dan perasaanku tetap saja nggak baik-baik saja. Sampai-sampai keponakanku dari pihak ibu mengomentari.
"Kalo mbak tetap pasang muka kayak gitu, tamunya bakal lari.." ingatnya hingga sukses buat aku tertawa. Ada-ada saja.
Berikutnya tiba-tiba aku mendengar kegaduhan. Awalnya sayup-sayup hingga kutangkap jelas suara ibu-ibu berteriak. Entah siapa. Suara itu kian dekat.
"Mana Aruna?" begitu teriakan itu lantang. Dan sepertinya ada yang menghadang di pintu depan.
"Pengantin wanita belum selesai dirias ibu. Sebentar lagi kita bersiap untuk akad, mohon menunggu."
"Tidak perlu akad segala! Aruna! Keluar kamu. Jangan sesekali kamu mengecoh kami!" teriak ibu-ibu itu.
Aku semakin nggak nyaman. Orang-orang di dalam menahanku untuk bangkit, mereka menyuruhku hening. Namun suara teriak-teriakan di luar semakin tak terkendali.
Aku sudah tidak tahan. Aku mengindahkan semua orang yang menyuruhku bergeming. Namun siapa yang bisa menghentikanku, jika aku sudah memutuskan.
Segera saja aku menyambar pintu dan menghadapi ibu-ibu tambun di hadapan.
"Maaf ibu. Ada apa? Mohon tidak membuat keributan," jelasku langsung ke inti.
"Lebih baik kau terus terang sekarang! Jangan menipu kami!"
Teriaknya menunjuk-nunjukku dengan jari. Sangat mengesalkan."Maaf. Maksudnya gimana ya?" tanyaku benar-benar tak mengerti. Siapalah orang ini?
"Saya!" ucapnya menepuk dada berulang dengan angkuh. Entah untuk memamerkan jejeran emas di jari dan pengelangan tangannya atau apa. Aku tak peduli. "Tantenya Alvi."
Oalah tantenya. Aku tak sangka ia punya tante sedemikian ini.
"Dan dia ibunya." tunjuk si berkonde pada seorang ibu lebih ramping di sisinya. Sangat kontras. Yang satu berkonde, yang satu berhijab. Yang satu judes, yang satu agaknya pendiam.
Baru saja aku hendak meraih tangan seorang yang diperkenalkan sebagai Ibu Kak Alvi itu kepadaku. Perempuan berkonde besar itu telah melerai lebih dulu.
"Tak perlu basa-basi. Setelah melihat kau langsung, makin yakin saya. Mengakulah, sebelum dipaksa!" Ia mengacungkan telunjuk di depan mukaku lagi.
Aku semakin nggak mengerti. Aku beralih kepada ibunya Alvi, meminta penjelasan. "Katakan yang sejujurnya." jelas ibu itu.
Aku mulai geram. "Maaf ibu-ibu. Jangan sampai saya melupakan adab saya kepada yang lebih tua. Jika ibu tidak setuju anak ibu menikah dengan saya, katakan saja. Jangan menyudutkan dan mempermalukan keluarga kami seperti ini!"
"Hei, hei, kau lah yang merugikan keluarga kami!" teriak si berkonde itu meninggi, mengacungkan telunjuknya lagi.
"Tutup mulut Anda!" teriakku menepis keras tangannya di hadapan.
Aku langsung menoleh kepada Ibu Kak Alvi. Kulihat dari jauh ibuku seperti hendak mencapaiku. Sepertinya ia tak rela aku diperlakukan buruk. Tapi aku isyaratkan kepada yang lain untuk menahan beliau. "Ibu ingin saya mengaku tentang apa?" tanyaku kepada ibu yang lebih kurus itu.Kusadari orang-orang semakin menyesak ke dalam. Bahkan jendela-jendela sudah dipenuhi kepala-kepala yang mengintip. Penasaran dengan drama apa yang tengah terjadi. Dari sudut lain tak sengaja kutangkap sosok Zikri juga. Dia beneran datang. Kualihkan pandangan, kembali manatap lawan bicaraku tanpa kedip. Aku tidak akan terintimidasi olehnya.
"Lihatlah keributan yang anda perbuat." Jelasku tak peduli. Persetan dengan pernikahan. Harga diri kami lebih penting sekarang.
"Maaf, tapi. Apakah benar Nak Aruna sudah tidak gadis lagi?"
Semua orang yang tadi riuh. Terdiam sesaat dengan itu. Seluruh mata mendadak menyorotku. Menunggu jawaban. Lidahku kelu. Setitik air mataku jatuh. Hari yang kukira bakal menjadi momen bahagiaku rupanya terlalu indah untuk menjadi nyata.
Masih hening hingga seorang ibu tetangga kami menyela dan berteriak, "Apa-apaan ini! Runa masuk, tak perlu kamu jawab, sayang. Masuk! Suruh orang untuk mengusir orang-orang ini!"
"Jawab saja jika kau tak menyembunyikan apa pun, dasar jalang!" teriak si ibu berkonde lagi.
Kurasakan tangan-tangan dari dalam kamar menarikku. Memaksa masuk. Orang-orang juga seperti sudah mendorong si ibu pembuat onar itu untuk keluar. Aku benar-benar marah hingga menghentakkan tangan dan bersikeras. Pegangan di lenganku terlepas seketika. "Aku akan jawab!"
Orang-orang menyorotku lagi, bisik-bisik terdengar.
"Ayo buruan jawab!" Kata si berkonde lagi.
"Tidak, sampai anda menutup mulut kotor anda!" tudingku pada si ibu itu. Yang kemudian langsung bungkam.
Aku menghela napas. Menegakkan kepala. "Jawabannya, benar." Kudengar suara riuh rendah.
"Jadi silakan kalian semua tinggalkan tempat ini." usirku. "Sekarang juga!" teriakku keras dengan air mata yang mulai berjatuhan.Aku tak tahu harus bagaimana. Benar-benar blank. Mataku sempat bersirobok dengan Zikri. buru-buru aku memutus kontak dan berpaling, betapa memalukan.
Orang-orang itu sudah lebih dulu digiring keluar. Tubuhku lemas seketika. Kurasakan seseorang berhamburan memelukku membawaku ke dalam. Aku mengikut saja-seolah tenagaku baru saja tersedot habis oleh Domentor berkonde itu. Tangisku pecah.
***
Selengkapnya ada di versi cetak ya 😇
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIKR MAHABBAH
SpiritualZikri, putra seorang ulama terkemuka, justru jatuh cinta pada seseorang yang dibantunya. Gadis yang memohon perlindungan dan menyimpan banyak luka itu bernama, Aruna. Kesungguhan dan perjuangkan Aruna untuk sembuh, untuk bebas dari cengkeraman masa...