Zikri - 6. Pertimbangan

923 149 98
                                    


Dokter Lyn memanggilku. Untuk apa?
Setelah meninggalkan Runa yang berganti pakaian, langkahku tertuju pada ruangan yang terlihat tak ada bedanya dengan ruangan lain dari luar. Lorong dan taman yang bersisian, asri. Katanya bagus buat pengobatan pasien karena tidak terpapar polusi.

"Assalammu'alaikum." Wanita berkacamata itu membuka pintu setelah beberapa kali ketukan. Aku sempat memunggungi pintu sampai terdengar jawaban salam.

"Ada apa dengan Runa?" Pertanyaan pertama yang kuajukan begitu duduk di depan meja. Dokter jiwa yang telah merawat dan menjaga Runa selama ini membalik lembaran di meja.

"Nak Zikri. Bagaimana? Apa masih bertahan menjadi penjamin Aruna?" Si dokter langsung tersenyum lebar, berbicara dengan intonasi santai setelah beberapa menit membuatku khawatir.

Beliau menyodorkan lembaran kertas mengenai hasil tes Runa terhadap respon penggunaan obat penenang sampai placebo*. Kecenderungan agresifnya jauh menurun dari pertama kali datang.

"Aruna tidak membutuhkan obat. Dia perlu lingkungan yang mengerti dan sebisa mungkin menjauhi pemicu stres. Jika Aruna dinyatakan bebas rawat jalan, dinas sosial tentu tidak akan lagi menanggung keselamatan Aruna di luar rumah sakit. Jadi, menurut Nak Zikri, apa ada opsi lain?"

Lutut kiriku naik ke atas kaki kanan, sekadar menggoyangkan sepatu sambil memainkan jari tangan. Opsi lain, ya?

"Saya sempat menawarkan pekerjaan dan tempat tinggal untuk Runa, tapi mungkin mastiin dulu kalau di sana masih kosong."

Dokter Lyn mengangguk, kemudian tangannya kembali memainkan pulpen di atas meja. "Selain rawat jalan, Aruna juga bersedia untuk diteliti sebagai rujukan pada gejala serupa."

***

"Sudah azan. Lo nggak wudu?"
Runa berdecak ketika aku masuk ruangan. Dia masih berkutat dengan novel-novel pemberian Syifa. Kayaknya besok-besok kasih bukunya Syekh Albani aja biar otaknya kenyang.

"Ayo, siap-siap salat." Kutarik bagian terluar bajunya agar Runa sadar kalau sudah waktunya berhenti baca.

"Apaan sih, Zik? Lo aja yang shalat. Lo tuh mesti banyak-banyak tobat, baru ngajak gue."

Dia bahkan menendang sisi kiri perutku karena masih bertahan membujuknya. Sakit.

"Mengajak kebaikan nggak perlu nunggu suci. Kalau bisa bareng, kenapa nggak? Buru!"

Runa melengos mendahuluiku menuju kamar mandi. Yah, kuharap dia beneran bakal salat sementara aku harus bergegas ke masjid terdekat. Waktu istirahat kantor juga sudah mau selesai. Tidak mungkin terus bertahan di rumah sakit.

Sepanjang perjalanan, aku terus berpikir apa saja yang bisa kulakukan untuknya?

Satu waktu menghentikan motor di pinggir jalan, bibirku membentuk kekehan.

"Untuk apa kulakukan semua ini? Apa benar aku menginginkannya sebagai calon istri? Apa keluargaku mau?"
Atau ... semua justru terlihat menyenangkan untuk dijalani.

***

Sambungan telepon dari bagian resepsionis bilang seorang gadis berjilbab ingin menemuiku, tapi pekerjaan di depan mata belum selesai. Sedangkan konsep desain sampul depan harus sudah siap pada rapat nanti sore.

Apa mungkin Syifa? Kali aja kan dia mau bawain makan sambil mampir. Sayang yang kutemukan berbeda. Langkahku berhenti di lorong ketika dia melambaikan tangan.

Gadis itu Aruna Sachi Meta. Gadis yang terlihat urakan beberapa bulan yang lalu karena sulit mengendalikan diri, berdiri dengan anggun dalam balutan gamis dan jilbab besar.

Wajahnya lebih cerah, terutama saat tersenyum. Kontras dengan warna marun yang menyelimuti.
Runa lebih dulu menghampiriku dan menyodorkan tas bekal. "Dari Ummi," katanya.

"Kenapa bukan Syifa?"

"Kak Syifa lagi disuruh Ummi beli sesuatu. Gue nggak tahu apaan, jadi gue yang anter ini. Ambil!"

Kusambut tas bekal biru darinya sambil melirik isi dan mendeteksi aroma. Kira-kira Ummi masak apa.

"Lo tumben di rumah?"

"Yah, itu...." Kedua ujung telunjuk Runa saling berbenturan saat mencari alasan.

"Itu apa? Lo kangen sama gue kan? Bilang aja, gue ikhlas kok."

"Lo ah, Zik! Ngaco!" Runa memukul pundakku beberapa kali tanpa melunturkan senyum. Apa dia malu?

"Gue nemenin Ummi milihin calon lo."

Kalimat yang sukses membuatku berhenti menggoda Runa sekaligus melunturkan senyumannya menjadi raut datar.

"Lo nggak bilang ke Ummi?"

"Bilang apa?"

"Kalau gue udah ngajak lo nikah."

***
* Placebo: Obat kosong.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang