Aruna - 5. Khaira

3.7K 423 192
                                    

Zikri sudah pergi. Aku mengantarnya sampai area batas yang boleh dijejaki pasien. Kami sempat bergandengan tangan sebentar sebelum berpisah.

Jujur, ini pertama kali bagiku memiliki hubungan khusus dengan laki-laki. Dan sepertinya aku mulai kasmaran tidak jelas.

Ketika dia sudah hilang dari pandangan. Aku langsung lari ke kamar, berguling. Semakin norak.

Aish, kenapa aku jadi lebai macam gini.

Setelah puas berteriak, guling-guling macam orang gila. Aku mulai terduduk. Memeluk guling.
Memikirkan pembicaraan kami tadi.

Ya, Dokter Lyn bilang. Kondisiku membaik dengan sangat cepat. Lingkungan yang nyaman juga kehadiran Zikri seperti paket komplit yang membuatku pulih lebih cepat.

Terus terang. Aku mau begini saja. Berada di lingkungan mereka yang memahamiku, jauh dari judging dan tatapan aneh orang-orang.

"Jika lo ingin cepat pulih dan normal. Lo harus segera bersosial, membaur. Hidup di masyarakat."
Begitu ucap Zikri. Ia berusaha memahamkanku pelan-pelan, bahwa cepat atau lambat, aku harus meninggalkan rumah sakit.

"Gue tahu. Tapi ini terlalu cepat, Zik. Gue nggak mau. Gue belum siap." Ucapku terus terang.

"Lo nggak mungkin tinggal di rumah sakit sini sampai nenek-nenek."

Ck! berlebihan. Siapa juga yang berencana menua di rumah sakit ini.

"Lo bosan sama gue? Lo capek harus ke sini terus, gitu kan? Yasudah, lo pergi aja sana!" ucapku kesal mendorong bahunya, buru-buru berdiri.

Tapi dia menarikku lagi. Menyuruh duduk. Dan aku menurut seperti kerbau dicucuk hidungnya.

"Dengar. Kita nggak mungkin lama-lama seperti ini. Dosa, Ar."

Aku tergelak. Ini lucu. Dari awal siapa yang banyak melanggar? Jelas-jelas itu dia. Bukan aku.

"Gue nggak bercanda!" tegasnya lagi yang bikin aku cepat-cepat mingkem. Meniadakan tawa. Tak ingin buat dia marah.

"Lo bisa tinggal di wisma milik Islamic center. Sekalian kerja di sana. Lingkungannya cukup kondusif. Kalo lo mau kuliah, gue akan pikirkan. Lingkungan baik Insyaallah akan membawa kita baik. intensitas kita seperti ini tentu akan berkurang banyak-yang otomatis, akan mengurangi dosa. Dan-"

Ucapannya terhenti. Aku menunggu. Tapi Zikri tak kunjung lanjutkan.

"Dan apa?" tanyaku tak sabar.

Ia menoleh. Menggeser tubuhnya menghadapku. Menatap netraku lurus-lurus.
"Dan kita bisa segera menikah."

Aku kehilangan kata. Kelu.
Aku meneguk saliva berulang. Jika orang di luar sana, bahagia ketika diajak nikah. Aku justru sebaliknya.

"Tapi.. gue. Gue ... belum siap, Zik. Sangat tidak siap."
ucapku sungguh-sungguh menggenggam tangannya.
"Kita bisa pelan-pelan 'kan? Kita begini dulu... sampai-"

"Sampai kapan?" todongnya keras.

Aku gelagapan. "Ya.. sampai, Sampai gue siap!"

"Kapan tepatnya lo siap?"

Aku membuang pandang dari tatapannya yang mulai mengintimidasi. "Ya ... gue belum bisa pastiin sekarang, dong. Kita lihat nanti."

Zikri sontak melepaskan genggaman tanganku dari tangannya. Langsung bangkit berdiri mengenakan jaket.

"Bararti hubungan ini tidak bisa dilanjutkan!" tegasnya yang bikin aku terbelalak, mengikutinya berdiri.

"Please, Zik! Jangan gini." ucapku memelas. "Tolong ngertiin gue. Ini tuh, nggak mudah."

Dia menggeleng. "Gue nggak main-main. Gue nggak akan mulai hubungan ini selain karena gue punya niat serius mau nikahin lo. Kalo lo cuma mau main-main. Maaf. Bukan gue orangnya."

Dia sudah bergerak meninggalkan. Aku kalut. "Oke! Oke! tolong kasih gue waktu buat putusin semuanya."

"Berapa lama?" sahutnya berbalik.

"Seminggu!"

"Oke. Gue tunggu."

"Tapi gue ikut!" seruku mengejarnya. Mengambil posisi di sisinya.

"Kemana?"

"Ngantar lo sampai depan. Kalo ke neraka mah, gue ogah!" seruku sambil senyum.

Zikri malah tertawa. Mengacak sayang kepalaku. Aku cuma bisa manyun. Mendadak dia jadi keliatan cakep banget hari ini.

Jauh dari dalam lubuk hati. Sebetulnya aku gundah.

Apakah aku akan mampu jadi istri yang baik buat dia?

***

Keesokan harinya aku melihat Syifa di koridor selepas keluar dari ruangan Dokter Diaz-dokter keren yang punya banyak koleksi game di laptopnya. Dokter mengizinkan aku bermain sebentar. Tentu saja aku seneng banget!

Aku langsung kabur begitu melihatnya, yang sepertinya ingin menemuiku.

Tapi terlambat. Dia melihat dan memanggilku. Dan aku tak punya pilihan selain menghadap.

Terlebih Syifa. Eh, maksudku Kak Syifa. Kan, dia adiknya Zikri. Ya, kalian tahulah maksudku.

"Assalamualaikum, Runa. Kamu sehat?" tanyanya.

Aku mengangguk saja. Kami pun bersalaman. Dia memelukku, sebagaimana tradisi di pondok. Aku agak kikuk.

"Kamu belum jawab salam dari kakak lho!" ujarnya mengingatkan.

"Ah, ya. Wassalamu'alaikum, Kak." sahutku cepat.

Dia tersenyum lagi. Menarikku dengan isyarat "ayo ikut."

Aku menurut saja.

"Kamu tahu, Dek. Salam itu adalah doa. "Semoga keselamatan menyertaimu" Dalam suatu hadis disebutkan, bahwa di antara syarat seseorang untuk masuk surga adalah keimanan, dan seseorang tidak dikatakan beriman sebelum ia saling mencintai sesama muslim, dan salah satu bukti cinta itu adalah saling menebarkan salam."

Aku mengangguk.

Syifa memang begitu. Ia tak pernah meninggalkan islam barang sedetik pun dari hidupnya. Mulai dari hal-hal remeh yang suka orang luput tentangnya, sampai kepada hal-hal serius.

Tidak ada yang keluar dari lisannya kecuali mengajak orang kepada islam dan ketaatan. Baik kepada orang yang dia kenal maupun kepada mereka yang tidak dia kenal. Luar biasa memang.

"Kita kemana, Kak?" tanyaku. Syifa membawaku ke taman. Aku mengikuti pandangannya. Di sana, dekat pohon paling rindang itu, dekat pot warna-warni yang menggantung. Ada Khaira tengah duduk sendiri.

Aku menggeleng. Aku menolak ketemu Khaira.

Tidak. Setelah apa yang aku lakukan terhadapnya.

Tidak. Setelah mendengar bagaimana kondisinya selepas kejadian itu.

Aku tak akan sanggup menerima tatapan kebencian darinya!

Benar, aku ingin minta maaf. Tapi tidak sekarang! Aku belum siap.

Aku sudah akan pergi, tapi Syifa menahanku.

"Nggak pa-pa. Khaira nggak akan memarahi kamu kok. Dia ke sini memang ingin bertemu. Untuk yang terakhir." Jelas Syifa.

Aku terbelalak. "Yang terakhir? Kak Khaira mau kemana?"

Syifa menepuk bahuku. "Kamu temuin aja, gih!"

Aku menggeleng lagi. Tapi Syifa mengangguk, meyakinkanku. Dengan tatapan penuh kesungguhan darinya. Seolah berkata.

"Percaya padaku. Temui dia."

***

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang