"Terus aja lo nyerah sama semua. Terus aja lo buat gue berusaha narik lo terus. Hidup lo. Perasaan lo."
Kupukul roda kemudi seraya menyalakan mesin.Runa baru keluar dari bangunan di depan. Langkahnya perlahan menuruni tangga sampai kuhampiri dan membuka jendela mobil.
"Masuk."Runa menurut. Dia terus menunduk sembari memerhatikan tangan kanannya yang terangkat di udara.
"Zik, berapa lama lagi lo terus kayak gini? Gue ngerasa apa yang gue usahain beberapa bulan terakhir jadi sia-sia. Mundur karena nyerah sama perlakuan lo."
Aku terus mengamati jalan, mendengarkan setiap pernyataan frontalnya tentang hubungan kami yang jauh dari aturan agama.
"Gue ngerasa gue salat, gue ngaji, tapi dosa gue langsung ngehapus semua itu, Zik."
Aku merasa tertohok. Tak mampu mendebat. Bisa dibilang, aku terbiasa dan merindukan memegang tangannya.
"Jangan milih gue karena kasihan. Bukankah Rasulullah menegaskan kata 'Ummuka' sampai tiga kali? Selama bukan maksiat, turuti beliau, Zik. Kita hanya akan merajut dosa jika terus bersama. Jangan campuradukkan yang haq dan bathil. Lo sendiri tahu gimana dalilnya."
Pikiranku mengulang perkataannya. Terlintas ucapan Ayah saat mengutip ayat, "Janganlah kalian campuradukkan kebenaran dan kebatilan, dan kalian sembunyikan yang benar padahal mengetahuinya."
Runa menghela napas panjang sebelum menyandarkan punggung. Pengendalian dirinya jauh lebih baik dibanding awal ketemu.
"Lo jauh lebih ngerti dari gue, Zik. Lo tahu gimana hukuman bagi orang-orang munafik yang sudah mendengar, tapi tidak taat. Lo nggak takut?"
Runa sukses membungkamku di sepanjang perjalanan menuju pesantren. Dia keluar lebih dulu sambil membawa keranjang belanja tanpa menegurku lagi.
Berat.
Langkah ini berat.
Pikiran ini berat.
Hati ini ....
Ya Allah,
betapa aku sangat bersalah dengan menduakan-Mu.***
"Zikri!"
Aku memegangi pipi yang panas setelah menghadapi tamparan ayah begitu memasuki rumah Ustaz Muaz yang kami tempati. A–ayah?
Aku jelas terkejut, sempat menatap nyalang karena tak mengerti di mana salahku.
"Ayah kecewa, Zik! Kecewa!"
Mendengar intonasi suara ayah yang merendah, aku menunduk, terdiam. Tidak berani bicara jika belum tahu permasalahannya. Takut jika menjelaskan justru hanya menambah perkara baru.
"Kamu sadar salah kamu apa?"
Ayah berteriak lagi. Kulirik tangan kanannya memegangi dada kiri."Jawab! Ayah sedang ngomong sama kamu!"
Langkah kaki terburu menghentak dari dalam rumah. Ummi muncul sambil membenahi jilbabnya. "Ada apa ini, Yah?"
Ayah tepat menunjuk padaku ketika aku mengangkat wajah. "Tanya dia!"
Ketika melihat semua yang berada dalam ruangan menatap penuh tanya, aku spontan kembali menunduk, melihat jemari bermain saling menaut.
Ragu untuk bicara. Khawatir jika semakin beralibi seolah menjadi pembenaran dari hal yang kulakukan.
"Ada apa, Zikri?" Ummi menghampiri, memegangi bahu kiriku sambil mencari jawaban dari tatapan Ayah.
"Lihat Ummi. Ada apa ini, Nak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIKR MAHABBAH
SpiritualZikri, putra seorang ulama terkemuka, justru jatuh cinta pada seseorang yang dibantunya. Gadis yang memohon perlindungan dan menyimpan banyak luka itu bernama, Aruna. Kesungguhan dan perjuangkan Aruna untuk sembuh, untuk bebas dari cengkeraman masa...