Zikri - 11. Memaksa Takdir

701 127 60
                                    

"Kenapa selalu menghindar?"

Kutahan lengan Runa begitu mampu mengejar langkah cepatnya di antara ramai pasar. Kutarik dirinya ke salah satu sisi gang, menghindari kemungkinan bertemu orang yang mengenali kami.

"Lepasin, Zik. Ini sakit." Runa berusaha berontak bahkan menendang tulang kering di kakiku.
Aku masih bertahan, menatap wajahnya yang semakin menarik setelah lama tak berjumpa langsung.

"Gue mau bicara."

"Zik, lo bilang mau berubah. Kenapa lo harus nemuin gue? Kenapa lo harus ngasih gue harapan kalau semua palsu? Kenapa lo ... Argh! Lepasin gue! Lo nggak takut dilihat para santri?" Runa melemparkan keranjang belanja mengenai kepalaku hingga isinya bertebaran di sekitar.

"Nggak! Gue kangen sama lo."

"Lo bilang apa?"

Kedua matanya berkaca saat terpaku padaku, tak mampu lagi menghindar. Cuping hidungnya kemerahan.

"Gue kangen."

"Lo mikir nggak sih kalau yang kita lakuin itu salah? Lo sendiri yang bilang bakal jaga jarak biar kita bisa ketemu dalam hubungan yang benar."

Suara Runa bergetar. Sekian kali dalam hidupnya, kekecewaan kembali menghampiri.

"Apa kita nggak bisa ketemu karena kangen aja?"

"Zik! Keluarga lo sudah ngelamar wanita baik karena lo baik. Sedang gue? Gue masih belajar. Sudah, Zik. Terima. Orang tua lo terlalu baik buat lo sia-siain."

Aku sempat menunduk, meniti tiap kenang dari bayang sepatu yang terlihat. Kami berusaha memperbaiki sejauh ini, tapi cabang hidup justru menjauhkan.

"Apa gue boleh mundur? Jadi Zikri yang dulu biar bisa tetep sama lo?"

"Jangan pernah berpikir untuk kembali, Zik. Gue udah nggak ada di sana. Gue udah nggak ada di masa lalu."

Runa melepaskan diri begitu pegangan kulonggarkan. Dia benar. Aku terlalu sombong untuk menentukan masa depan.
Kulihat dia melangkah pelan menuju keramaian. Dia meninggalkanku, kenangan kami. Bahunya berguncang. Mungkin mengeluarkan tangis yang tertahan.

"Maafkan aku, Runa."
Sebaris kalimat berbisik.

Menyakitkan untukku jika harus memilih. Ya Allah, inikah keputusan-Mu?

***

"Runa! Runa! Please! Don't go!" Aku sempat terdiam lalu mengumpulkan barang belanjaan Runa asal sebelum mengejar.

Kukira ... dia telah jauh. Ternyata kembali lagi. "Keranjang gue," katanya sambil sesenggukkan.

Bekas air mata terlihat jelas meski dia menghindari tatapanku dan berusaha mengusap wajah dengan lengan gamisnya. Garis bibirku jadi melengkung. Dia terlihat lucu dan menggemaskan.

Bertemu langkah di tengah keramaian tak memungkinkan untuk dekat. Runa menunduk saat aku memilih mengiringi di sampingnya setelah memberi keranjang dari anyaman rotan itu.

"Maaf, Zik."

Aku agak menunduk, berusaha mendengarkan suaranya lebih jelas.

"Ya?"

"Maaf."

"Buat?"

"Itu dahi lo."

"Yang mana?"

Aku semakin mendekatkan wajah pada Runa ketika sampai di luar pasar. Tanpa menengok, dia mengusap aliran darah di sudut pelipis dengan ujung lengan gamis yang menutupi telapak tangan kanannya.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang