Zikri - 19. Aku Mengembalikanmu

645 114 48
                                    

Sendiri menjemukan
Namun,
keramaian memuakkan

Sekali waktu,
ujub menguasai
Bukan karena miliki dunia
Namun,
alunan indah yang dielukan
semakin membuat tinggi
Keluarga
Teman shalih
Prestasi
Harta
Jabatan

Apa lagi yang dikeluhkan?
Semua terlihat sempurna, bukan?
Sekali waktu,
dunia memukul
Telak
Bukan hanya jatuh
Terjerembab
Terperosok jauh
Hingga rasanya ...
ingin terkubur sekalian

Saat itu,
sadari,
hati meronta dibebaskan,
dapatkan damai dalam nikmat sujud
Tiap goresan duka
Tiap hinaan,
masalah yang datang,
masa lalu yang terus mengoyak

Saat itu,
temukan sayangnya Sang Pencipta
melalui jiwa-jiwa lemah
di depan mata

Kematian
Sendiri menjemukan
Tiada kawan menggandeng dalam amal
Namun,
keramaian memuakkan
Maka,
jangan lepaskan
Mereka yang bertahan
dalam duka
Mungkin,
jadi jalan keluar untuk bisa taat

***

"Nggak tidur di kamar?" Kuelus puncak kepala Mira saat dia membuka mata. Mungkin tanpa sadar–tertidur.

Aku berpindah ke sisi setelah dia duduk bersandar pada sofa yang ditempatinya. "Ummi mana?" tanyaku lagi ketika dia mencium punggung tangan.

"Pengajian. Bang Zikri tumben pulang siang?" Suaranya lemah. Jemari Mira bahkan bergerak memijat pelipis.
Kuambil salah satu telapak tangannya, menekan beberapa titik hingga di antara jempol dan telunjuk.

"Habis gantiin ayah di IC. Kamu kenapa? Pucat gitu."

"PMS. Mau dapet, Bang. Lemes. Perutnya keram."

Mira belum mau membuka mata hingga tubuhnya kuangkat. Dia terkejut sampai menggantungkan lengan di leherku.

"Mira bisa jalan, Bang."
Ucapannya tak kugubris. Memindahkannya ke ranjang dalam kamar tidak perlu waktu lama. Ranjang yang selama ini kami tempati bersama hanya untuk persinggahan lelah.

"Katanya keram. Istirahat yang bener." Kubiarkan Mira mencari posisi yang nyaman sementara aku mengganti isi tas. Berganti pakaian juga setelah memeriksa aroma yang menguar.

"Abang mau ke mana?"

"Balik lagi ke rumah sakit. Kenapa?"

"Ke rumah sakit?"
Aku mengangguk dengan mudah. Tak perlu ada yang disembunyikan, bukan?

"Mau jenguk orang tuanya teman abang."

Mira berusaha duduk, mengatup kedua tangan pada lutut yang dinaikkan.

"Bang. Mira mau bicara. Bentar aja, bisa?"

"Apa?" Kupilah pakaian yang tergantung dari lemari, membiarkan Mira utarakan pemikirannya.

"Mira minta maaf."

"Untuk?" Jemariku berhenti pada kancing kemeja yang sedang dipasang. Masih ada dua lubang lagi, tetapi pantulan bayang Mira yang menunjukkan keresahan mampu menarik perhatian.

"Maafkan Mira yang mengorek semuanya. Tentang Bang Zikri dengan wanita itu. Tentang Runa."

Aku berbalik, mendekati sang istri dari tepi ranjang. Dia tertegun, menunduk, lalu menutup wajah dengan kedua tangan.

"Kamu bicara apa?" Kuusahakan tetap tertawa meski nyatanya mengorek masa lalu itu menyakitkan. Jemarinya kuturunkan satu per satu hingga tak menutupi wajah.

"Aku takut, Bang. Aku takut jika menolakmu menjadi sebab turunnya laknat malaikat."

Aku refleks menggaruk tengkuk karena membahas hal terkait kewajiban nafkah batin. Kuhela napas perlahan sebelum menjawab,

"Aku bisa menunggu. Aku tidak akan meminta sampai Mira benar-benar yakin."

Hampir tiga bulan pernikahan, dan kami terus menjaga jarak seperti teman biasa. Kecanggungan yang berlanjut karena sulit untuknya memaafkan.

"Bang Zikri sudah terlalu baik. Maafkan Mira yang tak mampu, Bang. Mira terpengaruh dengan segala ucapan wanita itu. Mira nggak mau di akhirat nanti kita justru bertentangan."

Dia menggeleng cepat, kembali terisak ketika meraih bantal untuk memberi jarak.

"Sudah ... sudah, Mira. Kita sudah sering bicarakan ini. Sudah takdirnya. Mungkin ini cara Allah menghapus dosa-dosa Abang. Nggak ada gunanya mengungkit hal yang tak mampu diulang."

"Apa yang harus kulakukan? Mira tahu jika Allah sangat membenci perpisahan? Bahkan wanita yang meminta khulu' tanpa alasan yang dibenarkan termasuk dalam golongan yang tidak mencium bau surga."

"Mira terus mencari jawab di setiap penghujung malam. Mira doakan kebaikan untuk Abang. Mira ...."

Isakannya menghentikan kalimat sesaat, hingga kuraih puncak kepalanya dalam dekapan.

"Aku terlalu terlena mencintaimu, Bang. Terlalu nyaman meski tahu dirimu masih menyimpan rasa padanya.

Aku ingin egois, tapi justru terlihat menyedihkan. Apa Abang mau Mira merasa terpaksa menjalani ini semua? Meski Mira tahu ada wanita di luar sana yang lebih membutuhkan Abang?"

Kubiarkan kalimat panjangnya terus mengalir. Aku pun berat, karena semua ini telah berjalan, ketika aku mulai mampu mengikhlaskan Runa untuk mencari kebahagiaannya sendiri.

"Kamu yakin mau berpisah?"

Mira mengangguk. Pelan. Sampai aku sendiri menolak percaya jika dia memintanya.

"Padahal aku mulai menyayangimu. Apa tidak ada jalan lain?"

"Mira masih fakir ilmu dalam menghadapi ini, Bang."

Aku mengulum bibir, berusaha membasahi permukaan sebelum mengucap basmalah. Satu kalimat untuk mengakhiri semua.

"Maka, aku mengembalikanmu pada orang tuamu."

***



* Seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu' kepada suaminya dengan memberikan biaya untuk melepaskan dirinya.

** Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridhainya untuk khulu', karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang