Aruna -22. Khitbah

2.7K 275 74
                                    

Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Setelah kesulitan itu ada kemudahan
(Q.S Al Insyirah 5-6)
🍃🍃🍃

Maka benarlah bahwa menyambung tali ukhuwah, silaturahim itu membuka pintu rezeki. Tak lama setelah Aku berkunjung ke Islamic center, ke Az Zubair. Setelah aku mengajak Dede pula mengunjungi sanak keluarga dari pihak Papah dan ibu. Segera pula aku yang pengacara-pengangguran banyak acara ini, mendadak kebanjiran job.

Memang, ketika berkunjung aku mengaku bahwa sedang butuh pekerjaan. Tak sangka mereka akan membantuku seniat ini. Atas rekomendasi teman-teman IC, hari ini aku kembali tekan kontrak dengan sebuah UKM Salon dan Spa yang baru saja akan buka. Dua hari sebelumnya, aku sudah tekan kontrak pula dengan usaha gamis Muslimah, pernak pernik wanita dan kosmetik. Semua membutuhkan branding dari awal. Mulai dari logo, banner, kartu nama, tempat fisik, hingga media sosial.

Maka jadilah aku berkutat di belakang laptop berhari-hari. Bolak balik melakukan revisi. Bisa mendapat respon puas dari pelanggan adalah kebahagiaan sendiri buatku. Syukurnya Dede bisa kuandalkan untuk bantu-bantu urusan rumah dan lainnya.

Ada kepuasan besar ketika kamu bisa mampu membantu mencukupkan kebutuhan keluargamu sendiri. Perlahan. Aku belajar untuk membuka diri kepada Ibu juga Papah.

Ibu masih dingin, meski sekarang lebih rajin menyapa. Dan Papah masih suka marah-marah seperti biasa. Begitulah adanya keluargaku dan aku harus mensyukurinya. Bersyukur keluarga kami masih utuh dan lengkap. Dede rajin pulang sekarang. Katanya ia akan membantuku untuk bicara soal rencana kelanjutan ta'aruf-ku. Perasaanku tak menentu.

Setelah kucoba bicara dengan ibu. Ibu hanya bilang "terserah aku saja" dan Papah tidak setuju. Ah, Kak Alvi bukanlah tipe Papah. Dia orang Sumatera dan bukan orang kaya.
Begitu kubela tentang Penghasilan dari freelance-nya yang lumayan, berulang pula Papa mengingatkan.

"Dia delapan bersaudara. Kamu mau dikasih makan pake apa? Dia masih perlu menghidupi adik-adiknya yang sekolah."

Aku bingung. Hatiku bahkan belum mantap. Tapi Ustazah Qonita optimis. Ustaz Muaz meyakinkan akan bantu bicara pada Papah nanti. Bagaimana pun Papah adalah waliku.

Pertemuan itu akhirnya terjadi. Ada pamannya Kak Alvi, Ustazah Qonita, Ustaz Muza, Dede dan juga Ibu yang menemani.

"Saya tidak pernah berencana menjadi orang kaya. Sehingga saya merasa tak perlu investasi." ucap Kak Alvi ketika kami sudah sampai ke pembahasan ekonomi.

Aku melongo. "Sebagian orang percaya bahwa makin banyak uang, makin banyak problem yang selesai. Itu cocok untuk mereka, bukan untuk saya. Jumlah uang seseorang berbanding lurus dengan besaran keinginannya. Semakin meningkat penghasilan, persentase keinginan pun akan meningkat pula."

"Sebagian besar penghasilan saya kirim ke kampung. Konsumsi saya sehari-hari sebatas menyambung hidup; biaya terbesar saya dulunya mungkin adalah saat berkuliah. Rasanya saya hampir tak pernah menceburkan diri dalam kompetisi untuk menjadi unggul dan ini sangat banyak menghemat biaya dan waktu.

"Selera saya dalam hal makanan pun tidak melampaui kemampuan finansial-saya malah tak pernah penasaran bagaimana rasanya menyantap lobster atau kaviar atau bahkan sekedar coklat mahal dari luar negeri. Jika keuangan saya sedang mepet-sering terjadi. Saya hindari makan daging atau telur dan saya cukup puas hanya dengan nasi dengan sayur bening atau lalapan.

"Kadang, saya masak tumisan sayur tahu campur teri. Makanan yang digoreng butuh biaya lebih banyak ketimbang rebusan. Sehingga makanan rebusan sering saya jadikan pilihan. Lagi pula, banyak minyak juga tidak baik. Makan itu bukan soal memenuhi selera tapi memenuhi asupan yang diperlukan tubuh.

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang