Zikri - 17. Aku Tidak Sekuat Itu

717 125 62
                                    

Brankar dorong membawa Ayah memasuki ruang IGD begitu diturunkan dari mobil. Kondisinya sudah tak sadarkan diri.

Kepalaku berat seketika ketika menyadari masalah pelik yang kembali datang. Bahkan bangku khusus pun rasanya masih belum cukup rendah hingga aku terduduk di lantai, bersandar pada dinding sambil menutup wajah dengan kedua tangan.Keringat, air mata. Entah yang mana ketika berpadu membasahi wajah.

"Maafin Zikri, Yah," ucapku berulangkali, mengingat raut kecewa yang ditunjukkan beliau sebelum mengalami sesak dan terbaring.

Hye Rin mencariku ke rumah dengan dalih rindu dan memeluk tanpa malu.
Aneh. Untuk waktu yang lama setelah perpisahan, wanita asing itu justru mendapatkan alamatku.

Beberapa menit, ayah dipindahkan ke ruang tindakan. Perawat mengarahkanku untuk mengurus beberapa surat dan obat pada bagian administrasi. Panik.

Aku mempercepat langkah. Sempat berpapasan dengan keluarga yang tiba setelah mendapat kabar. Aku hampir tak peduli dengan jarak lorong ketika berlari mengacuhkan pertanyaan setiap orang yang dilalui.
Semakin cepat diurus, semakin cepat tindakan dilakukan. Satu harapku, Ayah selamat.

Antrian panggilan bahkan tak mampu menenangkan. Sulit rasanya untuk duduk, dan aku terus bergerak, berusaha menetralkan resah.
Kenapa balasan dosaku datang begitu cepat?

"Duduk, Bang." Mira menepuk pundak dan menarik lenganku untuk mengikutinya duduk.
Rasanya menarik pangkal rambut pun tak mampu redakan kemelut yang memenuhi otakku.

"Wanita tadi ... siapa, Bang?" Akhirnya Mira bertanya meski ragu, terdengar dari pelannya suara yang diluncurkan.

"Teman kuliah. Hanya teman."

"Teman seperti apa yang melakukan kontak fisik?"

"Teman seperti apa?" Aku menertawakan pertanyaan Mira dengan miris. Pertanyaannya seolah menyindir meski dengan nada tenang.

"Seperti yang kamu tahu, Mira. Aku sudah menjelaskan jika aku bukan sosok yang baik. Aku bahkan terlalu malu. Allah sudah menutup aib untuk memberi kesempatan hamba-Nya. Apa harus diungkap jika menyakitkan?" Kuucapkan perlahan. Setiap kata pun terasa pedih jika mengingat kenanganku bersama Hye Rin.

Penolakan Khaira dan komplain klien di KL yang membuatku buta hati. Jauhi zina, tapi aku justru melakukannya.

Kami teman. Akan tetapi, dia terus menempel padaku setelah itu. Menjauh terasa sulit ketika setiap akses pekerjaan justru berasal darinya.

"Tolong, Mira. Jika aku pun menceritakan padamu, maka saksi dosaku bertambah. Sedangkan saksi tanpa tindakan yang sesuai hukum agama, sama berdosanya dengan pelaku."

Panggilan antrian memecah kedukaan yang menyelimuti kami. Aku kembali disibukkan urusan administrasi pelayanan kesehatan.
Masalah yang kami alami sudah berat. Ditambah lagi urusan birokrasi yang memberatkan. Apa tindakan tidak bisa dilakukan lebih dulu?

***

Setelah Ayah dipindahkan ke ruang ICCU, aku dikejutkan dengan penghuni ranjang sebelah. Lelaki tua yang terbaring dengan beragam selang itu terlihat familier, dengan banyak perubahan tentunya. Tapi siapa?

Remaja berseragam putih abu-abu sempat mampir untuk menukar tas di dalam nakas dengan yang dia bawa. Wajahnya serupa seseorang dalam versi cowok.

Saat keluar, aku mengikutinya sebelum keluarga besar mulai berdatangan pada jam besuk. Jika benar dugaanku, maka kepergian 'dia' takkan menyelesaikan masalah keluarga yang selalu didengungkan.

Di persimpangan lorong, aku kehilangan sosok yang lebih tinggi dariku itu. "Langkahnya cepat sekali."
Begitu berbelok, remaja itu ternyata menarik lengan hingga tubuhku terbanting ke dinding. "Ngikutin gue?"

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang