Zikri - 14. Ditinggalkan Menyakitkan

709 116 127
                                    

Kepalaku masih terasa berat saat terbangun. Seperti tonjokan dari dalam. Ini pasti karena terlalu lama berada di bawah guyuran hujan.
Aku meringis, sadari nyeri pada tulang hidungku. Runa terkadang kelepasannya nggak kira-kira.

Guratan pisau yang terakhir di lengan kiri beberapa bulan lalu saja meninggalkan bekas parut memanjang meski tidak kentara.

Alih-alih duduk, akhirnya aku hanya miring ke sisi kanan saat harus menghadapi Zen. Kakiku sulit bergerak, mungkin karena tabrakan yang mengenai tungkai. Tunggu. Kenapa ada Zen?

"Syifa masih nebus obat Bang Zikri," jawabnya ketika kutanya tentang siapa yang menjaga. Zen sepertinya masih belum mau menatapku secara langsung setelah pengakuan dulu. Ketika dia memergoki aku berbaring di samping Runa yang tertidur sambil memainkan helai rambut cokelatnya.

Aku segera menggeleng, mengenyahkan pemikiran yang mungkin membangkitkan syahwat. It's normal for me. Normal for an adult man.

Pantas saja Rasulullah menekankan bersegera menikah jika mampu. Hal krusial yang mampu memengaruhi segala aspek kehidupan lelaki dewasa. Salah satunya emosi yang tak terkendali.

Sadar, aku mengasarinya. Lebih sulit mengendalikan diri jika terus melihatnya di sekitar. Namun, kehilangan sosoknya pun membuatku rasakan kekosongan.

Aku bertahan, tak menyentuh apalagi melihatnya selama beberapa bulan terakhir. Lalu dihadapkan dengan kenyataan?

Ya Allah .... Apa belum cukup pengorbananku meninggalkan masa lalu yang kelam? Apa belum cukup pengorbananku meraih tiap langkah untuk mendekatkan diri pada-Mu?

Harapan keberadaan 'dia' di dekatku langsung pupus ketika tawa dua gadis yang memasuki ruangan berderai. Syifa dan Mira.
Entah apa yang mereka bicarakan.

Sesekali aku terpejam, larut dalam mimpi sesaat, lalu terbuka lagi.
Begitu benar-benar sadar, tinggal Syifa yang duduk pada kursi di dekatku seraya memegangi mushaf tertutup. Tatapannya naik sambil melantunkan ayat-ayat yang diturunkan pada Rasulullah.

"Ahasibannaasu ayyutrokuu ayyaquwluu aamannaa wahum laa yuftanuun."

Makna tafsirnya sekali lagi menyentak kalbu. "Apakah manusia itu mengira mereka dibiarkan mengatakan, 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi?"

Manusia. Terlalu angkuh ketika katakan "telah". Nyatanya, sabar tanpa batas karena pahalanya pun tanpa batas. Sama halnya dengan ujian. Takkan habis hingga maut benar-benar meminang.

"Sudah sadar, Bang?"

Aku mengangguk pelan. Syifa menutup mushaf dan meletakkannya di nakas. Tampak bengkak yang kentara pada kelopak mata adikku.

"Nangis?"

Adikku itu meremas ujung jilbab depannya, "Runa udah cerita semuanya ke Syifa." Dia mengangguk sambil menahan isak. "Apa rencana Abang?"

Kedua tanganku bertumpu di depan wajah, memainkan jari-jari di permukaan kasur. Tak mungkin beralibi, karena semua memang salahku.

"Syifa kecewa, Bang. Abang tahu sebesar apa kekecewaan Syifa?"

Kedua kakiku menekuk, lutut mendekati dada, meringkuk. "Nggak tahu. Abang nggak tahu, Syifa. Semakin Abang nyoba menjaga jarak, Abang semakin terlihat menyedihkan."

"Menurut Abang, semua yang Abang lakuin ini benar? Abang nggak mampu, maka semua jadi boleh? Berhenti beralasan, Bang. Abang justru semakin menyedihkan sekarang."

Sesaat, pikiranku mengelana pada tiap kenang yang terpatri. Sempat membandingkan segala hal yang terjadi pada kami tiap kali bertemu.

Aku terlalu takut jika Runa lepas kendali, tapi aku sendiri bertingkah seperti monster yang selalu muncul dalam bayang ketakutannya. Apa yang kulakukan? Bukankah aku harusnya mendukung kemauannya?

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang