Aku baru selesai mandi dan menemukan Zima duduk di depan meja. Dia terdiam dengan beberapa lembar foto di tangan.
"Dek? Kamu ngapain?"
"Ini ... foto siapa, Bang?"
Pertanyaanku dibalas pertanyaan. Adikku menemukan foto-foto Runa. Padahal, semua tersimpan di dalam laci.
"Kamu bongkar-bongkar barang Abang? Harusnya kamu minta izin dulu."
"Zima nyari kamera Abang buat dokumentasi acara sekolah. Bang Zikri sudah bilang boleh, tapi apa ini? Kenapa fotonya banyak sekali?"
Zima juga menunjukkan tampilan layar kamera, foto-foto terakhir yang belum sempat kupindahkan.
"Dia bukan mahram Abang. Kenapa Abang nyimpan fotonya?"
Alih-alih menjawab, aku mengabaikannya dengan mencari pakaian dari lemari untuk dikenakan. Semua orang rasanya semakin menyudutkanku.
"Zima perlu kasih tahu Ummi." Dia beranjak, hampir keluar kamar jika tak kuhalangi.
"Jangan!"
"Kenapa jangan? Jelas-jelas ini nggak boleh."
Zima memperjelas potret Runa dengan menunjukkannya di depan wajahku. Adik yang tegas, keras, dengan prinsip yang ia yakini–nggak kenal tawar menawar, terlebih soal agama, yang mampu menyaingi tinggi badanku. Dia lebih mirip dengan Syifa yang selalu frontal mengungkapkan pikiran.
"Abang ngaku khilaf. Tolong jangan kasih tau Ummi. Ummi pasti ...," sempat kugigit bibir bawah untuk memilah kata yang tepat berujung pada satu perasaan yang kutakutkan, "... kecewa."
Zima menurunkan tangannya ke sisi tubuh. "Aku juga. Aku kecewa, Bang. Bang Zikri yang kukenal nggak seperti ini."
"Sorry." Zima hanya belum mengenalku. Syifa dan Zima mengenyam pendidikan Islam semenjak kecil. Terutama pesantren. Sedangkan aku, kuliah di Kuala Lumpur dengan ragam pergaulan dan pemahaman keluarga Om yang menampungku tentang Islam yang lemah mampu mengikis iman.
"Sini kubantu hapus." Zima menampilkan lagi layar kamera di depanku. Dia menandai beberapa foto untuk dihapus.
"Tunggu dulu." Aku hampir merebutnya, tapi Zima lebih dulu menarik kamera ke belakang tubuh. Seringainya mengingatkanku pada kejahilan masa kecil bersama Syifa.
"Kukasih tau Ummi?"
"Jangan!"
"Kak Syifa!"
Panggilan yang Zima lakukan mengecohku sehingga dia bisa lewat dengan mudah. Aku hampir pasrah ketika dia berlari keluar kamar. Namun, keberadaan Syifa lebih dulu mencegat kami.
"Dasar para cowok! Bisa nggak sih berantem tuh nggak nyusahin?"
Zima berlindung di belakang Syifa sambil menjulurkan lidah. Aku berusaha mengejarnya. Namun, lembaran foto terjatuh tepat di kaki Syifa ketika Zima berpindah ke depan.
Syifa berjongkok menatap lembaran yang diambilnya secara acak. Kulirik, dia mendapatkan foto Runa saat tertidur tanpa hijab. Ketika rambut kelamnya yang panjang terurai.
"Bang Zikri? Ini maksudnya apa?"
Kening Syifa mengerut ketika menunjukkan padaku, sedangkan Zima memilih diam sambil mengutak-atik kamera.
"Itu ...."
"Sejauh apa hubungan Abang sama Runa? Jangan bilang Abang ngulang kesalahan saat SMA dulu?"
Aku menggaruk belakang kepala. Sulit untuk menjelaskan jika tak ada apa pun di antara aku sama Runa selain janji.
"Bang Zikri kenapa waktu SMA?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIKR MAHABBAH
SpiritualZikri, putra seorang ulama terkemuka, justru jatuh cinta pada seseorang yang dibantunya. Gadis yang memohon perlindungan dan menyimpan banyak luka itu bernama, Aruna. Kesungguhan dan perjuangkan Aruna untuk sembuh, untuk bebas dari cengkeraman masa...