Zikri - 5. Pilihan Masa Depan

1K 167 99
                                    

"Seru?" Pertanyaanku membuat Runa yang duduk di bangku taman menoleh.

Ini pertama kali dia keluar tanpa pengawasan. Gadis itu mengangguk tanpa mengalihkan perhatian dari lembaran di tangan.

Banyak buku yang Syifa titipkan padaku untuk diserahkan pada Runa. Termasuk hari ini. Novel? Setahuku novel lebih banyak tentang kisah-kisah penyanjung penuh mimpi.

Aku lebih suka buku-buku yang membuka mata tentang dunia. Logika-logika kehidupan seperti kenapa makan harus duduk dan menggunakan tangan kanan. Lalu bertemu dengan ketetapan yang telah tercantum dalam hadis. Bisa dibilang agama telah mengatur kehidupan manusia sejak membuka mata hingga liang lahat.

"Lo tahu? Gue punya buku yang lebih tipis dan menarik," ucapku ketika mengisi kekosongan di sisinya. Sesaat Runa menoleh, lalu asyik berimajinasi dalam angannya sendiri.

Tanpa menunggu, kuselipkan buku Sifat Shalat Nabi di pertengahan novelnya. Kupikir, Runa akan marah-marah kali ini. Namun yang terjadi, dia menumpu punggung pada sandaran bangku, menghela napas sesaat lalu menutup novelnya.

"Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Kenapa lo kasih gue ginian?" Runa menunjukkan sampul depannya ke arahku.

"Perbaiki salatmu, maka Allah akan perbaiki hidupmu." Sebuah kutipan yang tak sengaja kubaca sebelum kembali pada keluarga.

"Seorang Naufal bicara soal hidup? Gimana sama hidup lo?"

Dia ngebahas lagi panggilan yang diucapkan orang-orang padaku. Kurentangkan tangan di belakang punggungnya tanpa menyentuh, mendekatkan wajah hanya untuk menekan kepercayaan dirinya ketika mempertanyakan kehidupanku.

"Bilang aja to the point. Tanyakan aja langsung daripada lo nebak-nebak apa yang gue lakuin di luar."

Runa tersentak mundur ketika kudekati. Dia bahkan terjatuh di ujung. "Tega banget," katanya.

Boleh aku tertawa? Menutup mulut saja tak mampu sembunyikan gelak yang menguasai. Tetap saja, Runa itu perempuan, yang tersipu ketika diperhatikan.

"Tolongin, kek!"

"Gue bisa apa? Lo nggak minta tolong, tapi nyuruh."

Runa urung meminta bantuan. Dia lebih memilih menopang tubuh dengan berpegang pada pinggiran kursi, tapi jatuh lagi.

Aku berhenti tertawa dan mulai menaikkannya dalam gendongan. Buku-buku berpindah dalam tas yang tersampir di bahu.

Untuk kalangan biasa, melihat kami sudah biasa. Bagi kalangan pecinta romansa, pasti mikir baper. Akan tetapi, bagi kalangan keluargaku, kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal.

Bukan. Hal seperti itu memang tertera jelas dalam hadits Thabrani. Shahih yang tidak boleh dilanggar.

"Lo nggak kayak Syifa."

"Kenapa gue harus kayak Syifa? Gue cowok, dia cewek. Nggak mungkin sama."

Runa memukul bahuku. Sakit. Tapi tak mampu menjatuhkannya. "Bukan gitu, Zik."

Aku paham, tapi pura-pura tidak mengerti.

"Syifa protes banget soal sentuhan dengan lawan jenis."

"Syifa benar."

"Tapi, lo kenapa beda, Zik?"

Aku bungkam setelah membaringkan Runa di kasurnya dan mengambilkan pakaian lain untuk berganti.

"Gue tunggu di luar. Kalau udah selesai, lo bisa panggil gue."

Aku bergegas keluar sebelum pertanyaan lain mengalir.

Beda dari Syifa? Jelas.
Hafalanku hanya sekadar menyenangkan Ayah dan Ummi kalau aku bisa melakukan hal yang sama dan mampu memiliki predikat yang hebat.

Sebutlah aku sombong karena iblis pun begitu, paling taat tetapi berpaling ketika Tuhannya justru mengagungkan manusia pertama.

"Zik, lo nggak ngintip kan?" teriak Runa dari dalam kamar.

Aku tak menjawab, berkutat dengan pemikiran tentang Sang Pencipta saat menatap langit yang kelabu namun tak menurunkan hujan.

Pergaulan. Teman seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Yang mana akan kupilih?

Sayangnya saat dulu, aku tak punya pilihan. Hanya berharap jika kebiasaanku dalam didikan Ayah mampu membawa teman-teman ke jalan yang lurus.

Sayangnya saat dulu, aku lupa. Sebab hidayah bukan karena seseorang, tetapi karena Allah Maha Pembolak-balik hati manusia.
Yang terjadi justru aku terbawa pandai besi, terbakar dosa yang terus merambat.

Dan bolehkah kini aku berharap setelah tingginya tumpukan dosa? Berharap jika ada pilihan untuk aku dan Runa di masa depan.

***

ZIKR MAHABBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang