Setelah ijab, para tamu menyaksikan ucapan qabul yang kuucap dalam satu kalimat mantap.
Ya Allah ....
Perih hatiku ....
Aku terpejam, menutup wajah dengan kedua telapak tangan berusaha meng-aamiin-kan tiap baris doa yang dihaturkan penghulu.
Saatnya membuka hati ketika pengantin wanita memasuki ruangan dengan gaun putih berhias payet keemasan. Khimarnya menjulur sampai pinggang dengan riasan mencerahkan.
Buket di tangannya berpindah ke atas meja saat menerima uluran tangan. Pasangan halal yang harusnya menggugah selera.
Kupaksa bibir ini menebar senyum pada para saksi pernikahan yang hadir, membawa sosok Mira ke pelaminan untuk sesi foto. Kursi pelaminan yang terpisah, ditujukan untuk memudahkan pembagian tamu ketika walimahan berlangsung setelah akad.
Mira pun tampaknya canggung saat menerima setiap sentuhan. Seperti spontan maju ketika aku berada di belakangnya, atau terkejut ketika harus mendekatkan wajah.
Aku ... berhenti mencari sosok "dia" di antara kerumunan. Tidak lagi, tidak boleh berharap.
Bukankah Runa langsung pergi setelah ini?Aku tidak mengerti setegar apa dia hingga mampu mengabaikan perasaanku. Apa mungkin segala hal yang terlewati tak mampu mengesankan untuknya?
Mira memberi isyarat pada seseorang di kejauhan. "Aku haus, Bang. Belum sempat makan juga." Alasannya ketika menjaga jarak dariku setelah mendapat semangkuk soto dan botol air mineral dari seorang gadis yang kutebak kerabat Mira.
"Mau juga, Bang?" Mira kembali duduk pada kursi pelaminan di sebelahku. Dia menyodorkan sekali suapan. Meski ragu, akhirnya kuterima saja.
"Cie ... Yang halal." Kedatangan Zima saat menghampiri mampu membuatku tersedak sampai Mira harus menepuk punggungku beberapa kali.
"Apaan, sih, Dek! Biarin aja dulu Bang Zikri makan,"Syifa yang melintas, menjewer telinga Zima, membawanya menjauh dari pelaminan"bentar lagi mau disekat aulanya.
"Sudah nggak apa-apa, Bang?" Mira memastikan dengan mengusap punggungku setelah memberi minum.
Aku mengangguk, meneguk saliva dengan susah payah karena mimik khawatirnya. "Santai aja, Ra."
Diangsurkannya tisu dari meja terdekat untuk kugunakan.
"Ih, Abang! Banyak tahu orang mati karena tersedak," jelasnya ketika melanjutkan suapan di sampingku.
Semua masih canggung karena baru. Sentuhan dan cara bicara. Entahlah. Aku harus seperti apa saat ini?***
Satu bulan lebih, setelah menemukan buku catatan Runa saat menemani Mira mengambil barang-barangnya di wisma IC, aku dan Mira masih berjarak. Namun, tetap menampakkan perhatian di depan orang-orang.
Di dalam kamar, kami lebih banyak diam. Lebih tepatnya Mira.
Jarak yang kami buat terus melebar seiring kesibukan masing-masing meski tetap berjumpa di malam hari."Siapa yang datang?" Aku bertanya ketika memergoki Syifa dan Mira berlindung di belakang pintu, melirik ke arah luar.
"Itu, Bang. Yang berniat mengkhitbah Syifa tempo hari. Datang lagi."
Setahuku, pemuda yang rajin berkunjung ke rumah setelah kepergian Akmal--anak Ustaz Muaz yang lebih dulu meminang Syifa- masih orang yang sama.
Dia terlihat berbincang dengan ayah di ruang depan, jauh lebih semringah jika dibandingkan awal menjadi mualaf.
"Jangan terlalu lama dilihat, Mir. Nanti kalah cakep abangmu ini."
Syifa terkekeh mendengar gerutuanku saat menarik-narik bagian pinggang gamis Mira.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIKR MAHABBAH
SpiritualZikri, putra seorang ulama terkemuka, justru jatuh cinta pada seseorang yang dibantunya. Gadis yang memohon perlindungan dan menyimpan banyak luka itu bernama, Aruna. Kesungguhan dan perjuangkan Aruna untuk sembuh, untuk bebas dari cengkeraman masa...