Rumah putih di pertigaan perumahan itu terlihat mewah dari luar. Dinding batunya berukir bak istana.
Pelatarannya mampu memuat sampai tiga mobil. Namun, tidak ada kendaraan. Tamannya pun telah mengering.
Ketika pintu dibuka, seorang gadis keluar dari sana, memeluk kain putih di tangan. Jalannya tertatih hingga harus menghadapi tangga menurun dan terguling karena menginjak gamis panjangnya.
Dia meringkuk kesakitan sambil tertawa, kemudian berganti gelengan kuat.
"Aku tidak boleh mati di sini. Tidak sekarang." Suara yang terdengar dari bibirnya begitu lirih. Kulit putihnya diwarnai bekas kebiruan dan aliran merah gelap dari pelipis. Rambut panjang kelamnya acak, menutupi sebagian wajah.
Bayang yang dicitrakan sinaran lampu dari dalam rumah membuat gadis itu bergegas bangkit, menyeret kakinya dengan paksa untuk mencapai gerbang di pertengahan pagar-pagar tinggi seperti tombak tajam. Jemarinya bergetar saat membuka pengunci.
Tidak ada lagi penjaga keamanan yang akan membukakan gerbang. Hanya sunyi dan teriakan yang memanggil namanya berkali-kali.
"Aruna! Aruna!" Pria tua keluar dari rumah membawa kayu panjang. Amarah mempengaruhi rautnya ketika mengejar sang putri meski napas sudah tersengal. Wanita yang menyusul pun dihempaskan hingga terjatuh di pelataran, dibiarkan menangisi keadaan meski meminta sang suami berhenti mengejar.
Di tempat lain, seorang pemuda merapatkan jaket kulit yang melingkupi tubuhnya. Dia menghindari kepadatan manusia di antara bisingnya musik dan terus menghubungi nomor yang terlihat pada layar ponsel.
Beberapa wanita melirik namun tak mampu menarik perhatian. Tujuannya datang hanya satu, menemui gadis yang duduk di depan bartender sambil menyesap cairan dari dasar gelas tinggi.
"Hai, Naufal!" sapa si gadis saat bertemu tatap dengan pemuda itu sambil mengangkat gelas ke udara. Terusan sepaha yang dikenakan tanpa tali, mengekspos bahu kurusnya.
"Pulang."
"Naufal. Aku baru datang."
"Terus?" Pemuda yang terus dipanggil dengan nama Naufal itu membuka jaketnya, menyampirkan pada bahu si gadis yang terus berceloteh tentang berbagai alibi. Ponsel di tangannya sudah berpindah dalam saku celana.
"Intinya, kamu hanya ingin aku datang, bukan aku jemput?"
Si pemuda menyugar rambut ikalnya ke belakang setelah mendapat anggukan. Otot padatnya tak mampu disembunyikan lengan kaus.
Langkahnya beralih pada arah keluar ruangan, tidak peduli dengan panggilan-panggilan dari gadis yang menyusul dan berusaha memegang tangannya.
"Naufal! Apa kita tidak bisa bersenang-senang sedikit di dalam?"
Logat si gadis jelas tidak seperti orang lokal. Kulit putih dan mata sipitnya lebih seperti keturunan Asia Timur.
Hentakan dari hak sepatunya menegaskan kekesalan setiap kali ditinggalkan.Akhirnya, si pemuda menghentikan langkah dan berbalik. "Hye Rin. Aku tidak bisa terus datang. Berhenti mencariku."
Helaan napasnya dibalas dengan rengutan bersama putaran bola mata. Gadis itu justru menautkan lengannya pada siku dalam pemuda di depannya.
"Oke. Aku akan kembali ke hotel, tapi sama kamu." Ganti Hye Rin yang menarik Naufal keluar dari koridor-koridor. Rengutannya berganti senyuman, berbanding terbalik dengan pasangannya.
Naufal terus menghindari sorotan dari setiap orang yang ditemui. Entah menunduk atau melihat langit-langit. Bisingnya musik berganti lalu lalang kendaraan ketika mereka menyusuri trotoar menuju gedung parkir. Hampir menyeberang.
Namun, kehadiran gadis lain yang berlari ke arahnya memisahkan pegangan Hye Rin.
"Tolong! Tolong aku!" teriak gadis yang langsung berlindung di belakangnya, mencengkeram erat-erat punggung kaus.
Spontan Hye Rin mundur, memberi jarak ketika pria tua menghampiri. Lebih tepatnya berusaha melayangkan pukulan menggunakan kayu panjang ke arah Naufal."Aruna! Pulang!"
"Aruna?" Naufal mengulang nama gadis di belakang yang terus menggeleng. Bisa dirasakannya getaran ketakutan dari jemari-jemari yang berpegangan.
Sorot Naufal beralih pada Hye Rin, seolah meminta bantuan. Gadis asing itu langsung berlari mendekati petugas keamanan yang ternyata melihat mereka dari kejauhan.
"Sabar, Pak!" Kedua telapak tangan Naufal mengacung ke depan, membentuk isyarat berhenti. Kakinya bergerak mundur, semakin mendekati pintu masuk klub yang baru ditinggalkannya. "Kalian bisa bicarakan tanpa kekerasan!"
Bukannya mundur atau berhenti, pria tua itu justru mengayunkan baloknya hingga mengenai pelipis Naufal. Nyeri yang ditinggalkan tidak membuat pemuda itu mundur. Instingnya meminta bertahan, berpikir jika lari, keadaan akan jauh lebih membahayakan.
Pukulan kembali dilayangkan. Tangan Naufal langsung menangkap batang kayu dan membuangnya ke bawah mobil terdekat yang diparkir.
Kedua mata si pria tua melotot lebar. Telunjuknya menuding Naufal dengan berbagai serapah."Ini anak saya! Kamu siapa!" Tangannya sudah mengepal, bersiap memukul.
Beruntung, petugas keamanan menghampiri ketika pria tua itu melayangkan tinjuan yang mampu ditangkap Naufal.
Napas yang sempat tertahan berganti helaan lega ketika salah satu petugas yang memiliki tubuh besar menarik si pria tua.
"Tahan dia, Pak!" Naufal menyentuh pelipisnya, menunjukkan darah di ujung jemari. "Lihat. Dia melakukan tindak kekerasan."
Petugas lain memastikan keadaan Naufal dan menawarkan pengobatan. Namun, pemuda itu justru menggeleng dan menyelipkan lembaran merah muda sebelum menarik Aruna menjauhi keramaian yang terkumpul karena menonton perkelahian.
Hye Rin segera mengekor dan protes, "Naufal! Do you leave me?" Dia bahkan melepas sepatu tinggi yang menyelimuti kaki untuk menyejajari langkah.
Aruna masih membisu, menatap pegangan pada lengannya sambil mengingat-ingat wajah Naufal yang terlihat familier. Bibirnya melengkung lebar, menyadari tidak ada bahaya lain.
Namun, sekelebat ingatan kembali menggetarkan jemarinya. Kecemasan membuatnya menarik paksa jemari, menggigit ujung-ujung kuku sambil berjongkok.
Naufal menghentikan langkah, hendak menarik Runa lagi. Akan tetapi Hye rin lebih dulu menjeda.
"Kamu lebih peduli pada dia? She is not normal. Kamu berdarah." Dia mengambil tisu dari tasnya dan menyeka pelipis Naufal. "Kamu harus ke rumah sakit."
"Ini cuma luka kecil." Naufal mengambil tisu dari tangan Hye Rin. "Kamu datang sendiri. Kembalilah ke hotel. Dekat, kan?"
Rengutan Hye Rin membuat Naufal berpikir ulang. Tatapannya terpaku pada sosok Aruna. "Dia perlu bantuan. Kamu jauh lebih baik. Istirahatlah. Nanti aku hubungi lagi."
Sudut dagunya mengedik pada gadis bergamis yang terus memeluk kain putih di tangan, belum berhenti menggigiti kuku.
"Promise?"
Naufal mengangguk, biarkan Hye Rin pergi dengan kekesalan.
"Masih butuh pegangan?" Naufal mengajukan penawaran sambil berjongkok di depan Aruna, menatap lurus pada sorot kosong hingga dia perlu mengibaskan telapak tangan di udara.
Aruna mundur beberapa langkah. Melihat pegangan yang mengerat, Naufal menarik kain putih dari pelukan gadis itu. Sadari bentuk yang lebar ketika dibentangkan.
"Ini jilbab." Sesaat, Naufal terkekeh. "Kamu perempuan. Nggak baik keluar malam-malam."
Dia memasangkan kain lebar itu pada kepala Aruna, tersenyum mengagumi paras alami tanpa riasan meski terluka. "Cantik."
Aruna melongo saat melihat wajah Naufal tersenyum. Ingatannya menguat hingga tanpa sadar bicara, "Zikri anaknya Ustaz Musa?"
Naufal terdiam. Tangannya berhenti pada puncak kepala Aruna. Senyumannya seketika pudar.
"Kamu mengenalku?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIKR MAHABBAH
SpiritualZikri, putra seorang ulama terkemuka, justru jatuh cinta pada seseorang yang dibantunya. Gadis yang memohon perlindungan dan menyimpan banyak luka itu bernama, Aruna. Kesungguhan dan perjuangkan Aruna untuk sembuh, untuk bebas dari cengkeraman masa...