Mereka memarkir mobil di pinggir jalan. Pantai itu kosong, wajar karena cuacanya dingin. Taeyong menutup pintu mobil sebelum berjalan di tepi pantainya dengan Jaehyun mengikutinya di belakang.
Pasir sudah tertutupi salju. Semua bangku dan pohon berwarna putih dan beku. Jaehyun menyusulnya seraya mencoba untuk tidak menggigil, merapatkan kancing mantelnya di leher.
Ketika ia mendekati air, suara deburan ombak yang menyambar tepian membuatnya merasa lega meski ada kekacauan di luar sana. Ia mendorong masalah itu jauh-jauh sebelum berdiri di belakang si rambut merah, penasaran apa yang sedang terjadi di dalam otak busuk itu.
"Kenapa kita di sini?" Jaehyun memecah keheningan. Gumpalan udara keluar dari mulutnya, ditiupnya seperti anak kecil.
"Dingin sekali, Jaehyun." Taeyong berjalan ke arah air dan mencelupkan hak sepatunya, membasahinya.
Yang lebih muda tidak bisa menahan rasa takjubnya, walau ia pikir ucapan Taeyong tadi sedikit bodoh. Ia tidak tahu kenapa terkadang Taeyong bertingkah seperti itu meski ia memiliki IQ tinggi. Ia ingat satu waktu di mana si rambut merah bertanya apakah ada sereal padahal ia tahu benda itu tidak ada.
"Apa kau pernah merasa dikhianati?" Taeyong berputar, menghadapnya. Jaehyun tidak bisa membaca pandangannya. Tidak akan pernah bisa.
Butuh beberapa detik sebelum Jaehyun bisa menjawab. "Kurasa tidak."
Taeyong mengangguk, masih memandangi Jaehyun. Matanya mungkin kering karena ia jarang berkedip namun kelihatannya ia baik-baik saja. "Bagus. Apa kau mau dengar kalau aku bercerita tentang ayahku?"
Ia tidak menunggu jawaban Jaehyun sebelum meninggalkan tepian, berjalan ke arah bangku yang tertutup salju. Taeyong membersihkan salju itu sebisanya lalu duduk, kakinya menyilang. Jaehyun masih berdiri di samping bangku.
"Aku lebih tertarik dengan fakta bahwa kau baru saja memanggilnya ayah."
"Oh. Maaf. Maka aku akan memanggilnya dengan namanya saja. Aku mencicipi rasa pengkhianatan waktu Lee Namgyu lupa dia pernah meniduri ibuku dan pergi begitu saja." Taeyong mengeluarkan sebungkus rokok dari jaketnya dan menyalakan sebatang, dengan cepat menghirupnya. Zat itu mengisi paru-parunya, asapnya lenyap di udara yang dingin. "Kira-kira usiaku 8 tahun, atau berapa pun itu, aku sudah lupa. Dia membawa kami ke Korea. Dia tidak pernah hadir di hari libur, ulang tahun; dia hanya ada di rumah sekali atau dua kali sebulan, maksimal tiga kali kalau dia sedang bosan dan ingin hiburan sementara. Dia mengenalkanku pada seni melempar pisau. Kalau kau berpikir aku hebat," Taeyong menjentikkan abunya di tanah dan menghela napas. "Kau harus memujinya juga. Sedikit saja. Aku hebat karena aku memang berbakat."
Jaehyun mengangkat bahunya. "Kau memang arogan sekali." Kisah si rambut merah barusan tidak hanya lewat begitu saja di telinganya. Ia membayangkan seorang anak laki-laki kecil yang menanti ayahnya, tidak tahu kapan ayahnya akan pulang, hatinya terasa disayat. Anak-anak Lee Namgyu tidak bersalah, setidaknya anak perempuannya yang mati di tangan Dragonaire tidak bersalah. Jaehyun terkekeh dalam hati. Sebagai seseorang yang bekerja di bidang kriminal terbesar di dunia modern, seharusnya dia tidak berhak menghakimi mana yang benar dan salah. Tapi tetap saja, ia pernah diajarkan moral.
Perhatiannya kembali terpusat pada si perokok ketika ia mendengar lidah yang berdecak. "Kau mau aku memotong lidahmu? Aku bisa bertahan hidup sendirian."
"Lanjutkan."
Taeyong memutar matanya sebelum menghembuskan asap rokoknya. "Bagus. Interupsi sialan. Jadi, dia tidak pernah datang lagi. Kami bahkan tidak tahu apa pekerjaannya. Bedebah itu bertemu ibuku di klub, menidurinya, punya aku dan Olivia, pulang ke rumah seperti orang asing dan menghilang tanpa pamit. Mungkin dia bosan dengan rutinitas keluarga. Dan mungkin, kami menghalanginya berkembang." Rasa kesal terlintas di wajahnya sembari ia melambaikan tangan di udara, bibirnya melengkung ke bawah. "Dia bahkan tidak punya iktikad baik untuk mengirimkan kami uang. Kurasa keadaannya sudah membaik ketika aku pergi, karena ibu dan adikku masih bertahan hidup sampai aku membunuh Kim Jaeseok. Olivia dan aku belajar untuk melupakan fakta bahwa kami memiliki seorang ayah. Dia lebih emosional terhadap hal-hal keluarga macam ini, kau tahu." Sambil menceritakan adiknya, Taeyong tanpa sadar tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...