Part 2

1.4K 192 0
                                    

"Ayolah," Sebuah hembusan napas hangat menerpa pipi Jaehyun. Ia terpana selama beberapa saat oleh fakta bahwa mereka hanya berdua saja, hingga ia tidak sadar kalau Taeyong sudah berada sedekat ini dengannya. Terakhir kali mereka dekat secara fisik seperti ini adalah ketika mereka bersembunyi di pondok... dan situasi memanas. "Tanyai aku."

Kedekatan wajah mereka membuat pikiran Jaehyun kosong. Mendadak ia lupa cara bernapas ketika kehadiran Taeyong yang luar biasa meliputinya, mengurungnya. Jaehyun adalah seorang pria yang teguh pada pendiriannya dan selalu menghindari masalah, namun Taeyong selalu mematahkan teorinya itu — bahwa terkadang ia lemah, terutama ketika si rambut merah hanya berjarak sehelai rambut darinya. Ada sesuatu tentang Lee Taeyong yang Jaehyun belum bisa pecahkan meski sudah lumayan lama mengenalnya dan seberapa pun ia ingin menyalahkan sifat alami psikopat di hadapannya, ada kekuatan di balik sepasang mata biru itu yang mampu menguasainya.

Semua logika lenyap begitu saja begitu Lee Taeyong menganggapnya tak penting. Bahkan masalah yang masih menghantui Jaehyun mengenai tidak adanya respon dari Garnet dan berbagai ancaman dari klien sudah dikubur dalam-dalam karenanya.

Si penembak jitu menggeleng tegas, perlahan menjauh. "Tidak akan."

Lengah, Jaehyun ditarik dari sofa dengan sebuah cengkeraman keras di pakaian bagian depannya. Si pelempar pisau menyeretnya ke atas, mengabaikan usaha Jaehyun untuk melepaskan diri. Taeyong menendang pintu kamarnya dan mendorong Jaehyun masuk sebelum mengikutinya, berputar dan tersenyum miring pada Winwin yang malang, yang menyaksikan adegan itu dengan ekspresi menghakimi. Ia menutup dan mengunci pintunya, menghalangi pandangan si pembakar itu.

Siapa pun akan merasakan hal yang sama dengan si pembakar, mengingat kamar Jaehyun berjarak dua kamar dari milik Taeyong. Hanya orang bodoh yang tidak tahu apa yang akan terjadi — dan Sicheng memilih untuk tidak mengusik mereka.

Bagian belakang lutut Jaehyun mengenai dipan dan ia jatuh di ranjang, siku menyangga tubuhnya dan kakinya terbuka lebar seraya mulutnya menganga tak percaya pada lelaki di depannya. "Kau hanya ingin aku bertanya padamu — kenapa kau harus menyeretku ke sini? Dan tolong," Jaehyun bergerak mundur sampai ia mengenai kepala ranjang, berusaha menjauhi Taeyong. "Kalau kau ingin bilang sesuatu, bilang saja."

"Tanyai aku." Taeyong memasukkan satu tangan ke kantong celananya, tangan lainnya membuka dan mengunci pintu berulang-ulang. Ia memunggungi Jaehyun jadi tidak mungkin untuk membaca ekspresinya, walau Jaehyun yakin wajahnya pasti datar dan kosong, melarangnya mengetahui apa yang sedang ia pikirkan. Jaehyun kemudian menyadari bahwa Taeyong gelisah karena sesuatu ketika ia meremas kenop pintu keras-keras hingga buku jarinya memutih lalu menendangnya sambil mendesis. Si rambut merah menggigit tangannya dan menghadap Jaehyun, matanya membesar dan bergetar.

Mata Jaehyun mendarat di laci yang terbuka. Penampakan sekotak rokok membuatnya sedikit lega, ia mengambilnya dan melemparkannya ke arah Taeyong. Bungkusnya terjatuh di lantai, isinya berceceran. Taeyong tidak mengambilnya dan tetap meremas kenop pintu.

"Ticmu kambuh lagi. Hisaplah batang kankermu itu supaya aku bisa pergi dari sini."

Ia mendapat tatapan murung. Mereka saling memandang untuk beberapa detik dengan jantung Jaehyun yang bertabuh di dalam rusuknya sebelum Taeyong membungkuk dan mengambil sebatang.

Taeyong berjalan menjauh dari pintu dan mengacak-acak lacinya, mendesah lega ketika menemukan pemantik. Ujung dari batangnya terbakar dan asap mengisi ruangan. Walau Jaehyun ingin sekali membuka jendela, ia tidak bisa. Di luar turun salju dan ia tidak ingin mati beku.

Kenapa ia tidak bangun saja dan pergi dari situ?

Badannya tidak mau bergerak. Lee Taeyong menghirup sejumlah nikotin dan duduk di ranjang, melihat ke arah Jaehyun. Jarinya sudah tidak berkedut-kedut lagi.

Jaehyun memperhatikan gerakan dadanya yang naik-turun di tiap tarikan dan hembusan napasnya. Aroma rokok mulai menempel di rambut, pakaian, dan kulitnya. Sialan. Ia harus mandi lagi.

"Kau mau bertanya padaku atau tidak? Aku tidak punya banyak waktu."

"Baik, baik." Penembak pemegang kartu Gold itu menghembuskan napas dan menumpukan lengannya di atas lututnya yang tertekuk. "Apa yang kau lihat di kamar itu, dasar mesum?"

Mata Taeyong berkilat-kilat sebelum menghisap dalam-dalam dan menjatuhkan rokoknya, menginjaknya dengan tumitnya dua kali. Pasti ia merasa terbakar walau sedikit. "Well..." Ia berkata lambat-lambat, membuatnya penasaran. Selang waktu bergulir, ia melirik pintu dengan kepala sedikit miring, bersenandung. "Sebenarnya tidak ada sesuatu yang kotor terjadi di sana."

"Apa?" Jaehyun melotot. Apa Lee Taeyong baru saja membuatnya terlihat bodoh?

Si pelempar pisau memutar kepalanya dengan sangat cepat untuk melihat Jaehyun, Jaehyun sempat merasa takut lehernya akan terkilir. Gerakan itu sangat mengganggunya.

"Tidak ada yang cukup kotor untuk membuatku tertarik, selain fakta bahwa mereka menggunakan sex toys untuk menambah gairah di ranjang. Kurasa itu isi dari paket yang datang beberapa hari lalu. Mereka pasti menggunakan kartu kredit yang tersedia di brankas. Kita seharusnya bisa menggunakan uangnya untuk berbelanja di supermarket. Pasangan mesum itu luar biasa, ya?"

Dengan sengaja, Taeyong duduk lebih dekat dengan Jaehyun. Untungnya ia tidak mendengar napas Jaehyun yang tercekat, atau mungkin ia mendengarnya tapi ia tidak menunjukkannya. "Mereka juga sedang bercinta. Doggy style. Hebat sekali si kerdil itu meladeni ganasnya—"

"Cukup! Aku tidak mau mendengarnya lagi!" Semburat merah di pipinya perlahan menjalar hingga ia benar-benar memerah. Ia tidak ingin membayangkan apa yang baru saja Taeyong katakan. Jaehyun menggigil sebelum menatap laki-laki di seberangnya. "Ten harusnya meninju gigimu sampai lepas."

"Oh, persetan." Si rambut merah mendengus. "Aku akan memukulnya lebih dulu sebelum tangan pendeknya bisa menjangkauku."

"Kau bicara seolah-olah kau setinggi itu. Lagi pula Johnny akan membunuhmu."

Taeyong menyeringai, benar-benar terkesima. "Apa yang akan dilakukannya? Menaruh dinamit di pantatku dan menonton isi perutku berterbangan di ruang tamu? Itu sangat gila. Bagaimana bisa seseorang melakukan itu, Jaehyun? Tidak berperikemanusiaan sekali!" Tertawa sinis, Taeyong berlutut dan mulai mengurai tali celananya.

Waspada dengan apa yang mungkin dilakukannya, Jaehyun berlari ke pojok ruangan. Lucu, ia adalah seorang penembak yang seharusnya tak kenal takut, namun kini ia terlihat menyedihkan berusaha kabur dari mara bahaya bernama Lee Taeyong. "Apa yang kau lakukan?!"

"Menurutmu? Aku sudah bilang," Taeyong menendang celananya tapi untungnya celana dalamnya masih terpasang. Meski tidak lama kemudian menyusul ditanggalkan. "Kalau ticku akan kumat jika ingin membunuh. Rokok dan permen sudah tidak mempan lagi. Jaehyun, kau akan membantuku, 'kan?"

Mata biru mengikuti gerakan jakun si penembak jitu yang menelan ludah gugup. Ia tahu efek dirinya terhadap Jaehyun dan ia akan memanfaatkannya. Kenapa tidak? Mereka akan sama-sama diuntungkan dan Jaehyun tahu itu — Taeyong sudah memberitahunya di pondok. Selain itu, Jung Jaehyun adalah seorang pengecut, tidak mau mengakui hal-hal yang sebenarnya ia inginkan. Laki-laki penuh penyangkalan itu sangat yakin dirinya straight dan dia membenci Lee Taeyong dan segala hal yang berkaitan dengannya.

Tubuhnya membayangi tubuh Jaehyun, lengannya mengungkung masing-masing sisi tubuhnya. Taeyong tidak menekan pinggulnya turun tapi ia tetap diam di antara kaki yang lebih muda, mendominasinya.

"Kau tidak akan membunuhku, 'kan?" Helai merah berjatuhan di atas matanya, menajamkan tatapannya.

Jaehyun mengambil napas panjang di bawah tubuh si pelempar pisau untuk menenangkan pikirannya yang berputar-putar di kepala, juga perasaannya yang berkecamuk. Tangan Taeyong terkepal di ranjang, berusaha menahan dirinya yang ingin melilitkan satu tangannya ke leher Jaehyun. Sesuatu berkilat di matanya, mengonfirmasi hasratnya untuk membaluri tangannya dengan darah dan Jaehyun menyerah tanpa kata, membenci dirinya yang bisa dibaca dengan mudah hingga ia tidak bisa menyembunyikan nafsu yang mengalir deras di pembuluh darahnya.

Senyum kecil menghiasi wajah Taeyong sebelum tubuhnya menjauh dari Jaehyun. Sepasang mata arang milik Jaehyun tidak berpaling darinya sembari ia berdiri di kaki ranjang dengan aura dominan yang sangat kuat, membuat Jaehyun ingin memalingkan wajah.

Namun ia tidak melakukannya.

Taeyong adalah seorang manipulator tak tahu malu, licik dan kejam. Ia tidak akan menyerah.

[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang