Turun hujan ketika mereka mendarat di Paris. Anggota Invictus dan juga Léonie yang sudah diidentifikasi oleh petugas keamanan di bandara Charles de Gaulle, segera dipersilakan melewati area inspeksi.
Sebuah van sudah menanti di gerbang saat mereka keluar dari bandara. Jaehyun memberitahu supir Prancis itu alamat kediaman mereka, lidahnya terbelit karena bahasa yang sulit.
"Apa aku boleh membantu, Tuan?"
Léonie menawarkan dari kursi belakang dengan nada tenang. Ia tampak seperti rusa yang ketakutan ketika Jaehyun menoleh dengan sebuah lirikan, mengisyaratkan bahwa bantuannya tidak dibutuhkan. Ia cepat memahami peringatan itu dan tetap diam selama perjalanan.
Perjalanan dari bandara ke daerah Gambetta memakan waktu lebih dari setengah jam akibat hujan yang memperlambat laju kendaraan.
Mereka melewati jalanan sibuk di mana terdapat kafe juga butik sebelum mobil berjalan lurus ke sebuah area pemukiman.
Kepala Doyoung sedikit merunduk seiring ia mengintip dari jendela, menepuk pundak Jaehyun. "Kita sudah sampai." Van berhenti tepat di depan rumah yang serupa dengan rumah lainnya tapi jelas terlihat dibangun untuk tujuan yang berbeda. "Ayo."
Setelah menurunkan barang-barang bawaan, Jaehyun menyuruh supir suruhan Invictus itu pergi. Doyoung memimpin jalan ke dalam rumah, menggesek kartu Goldnya di mesin pemindai lalu masuk ketika pintu terbuka otomatis dari dalam.
Dilihat dari eksteriornya, rumah persembunyiannya terlihat seperti rumah lainnya di perumahan itu: kokoh, dinding batu terakota, genteng miring, jendela vertikal. Tidak ada yang tampak janggal jika dilihat dari luar.
Interiornya jauh berbeda. Tidak ada ruang tamu, yang ada adalah deretan komputer. Masing-masing memiliki kubikel, komputernya masih dalam keadaan mati. Juga tampaknya rumah ini sudah tidak diurus selama beberapa waktu, mungkin karena tidak ada perintah dari Red Phoenix.
Winwin segera ke dapur, mengecek kulkas. "Well, sepertinya kita tidak akan makan makanan kadaluwarsa. Hanya debu di lantai yang perlu kita pel."
"Jumlah ruangan di sini sama dengan rumah sebelumnya. Jadi kalian bisa memilih kamar sendiri. Aku ambil yang paling dekat dengan kamar mandi." Doyoung mengambil tasnya dan berbelok di koridor, mengulum senyuman seraya yang lainnya mengeluh.
Mengabaikan kegaduhan teman-temannya, Jaehyun mengusap sebuah monitor dan meringis akan debu di jarinya. "Gunakan laptop yang kita bawa saja. Setidaknya kita tidak akan terinfeksi penyakit kalau memakai itu. Doyoung menghabiskan sebotol pembersih untuk mengelap keyboard tiap jam."
Yuta dengan bersemangat menyeret tasnya dan mengklaim sebuah kamar, meninggalkan Jaehyun, Winwin dan dua pria yang sangat lengket satu sama lain untuk memeriksa senjata di tas yang diberikan Invictus. Léonie duduk dengan tegang di salah satu sofa dengan tas di pangkuannya.
Jaehyun membuka satu tas dan memeriksa pistolnya, wajahnya berubah masam. Segalanya dimasukkan ke tas dengan sembarangan, ada beberapa granat yang untungnya tidak kehilangan pinnya, dan beberapa kotak peluru yang sudah terbuka, isinya berceceran.
"Waktu mereka bilang sudah menaruh senjata di pesawat aku kira mereka memisahkan jenisnya setidaknya dalam beberapa tas. Bagaimana kalau granat kita meledak di atas sana? Idiot. Winwin, apa kau tidak butuh perlengkapanmu? Ayah tidak memberi kita—"
"Jangan khawatir," Winwin meyakinkannya dengan mulut terisi penuh makanan. "Rumah ini lengkap, kau tahu."
"Bagus. Apa kalian mau mencoba jasnya? Topengnya juga?" Tersenyum miring, Jaehyun membuka kopernya dan mengambil beberapa jas. Warnanya biru dari bahan beludru dengan bercak hitam yang menambah kesan intimidatif dan mahal.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...