"Selamat siang?"
Matanya terasa berat, tapi ia tidak bisa kembali tidur. Ada perasaan berat di dalam dirinya dan kepalanya terasa berdenyut, memaksanya meladeni orang yang memanggilnya. Dengan seluruh rasa malas yang ada, Taeyong membiarkan sepasang lengan membantunya bangkit tanpa menekan bahunya yang cedera. Ia disuntik di lengan yang sama; ia mulai merasakan kebas.
"Kau pikir ini siang yang menyenangkan kalau aku disuntik terus-menerus?"
Dokter itu mengangkat bahunya dan duduk di kursi kecil di hadapan si rambut merah. "Makanya aku bertanya. Aku bermain aman."
Sarkasme itu membuatnya sebal. "Kau membuatku mual." Tenggorokannya terasa terbakar dengan sensasi bergemuruh di pangkalnya. "Aku bersumpah demi Jesus H. Christ, kau membuatku mual — ironisnya kau adalah seorang dokter."
Bibir Jaejoong mengerucut dan itu membuatnya terlihat seperti sedang menahan tawa. Membuat Taeyong semakin kesal, ingin menendangnya tapi jujur saja, ia lebih baik menyimpan energinya untuk melakukan hal yang lebih baik. Seperti menguntit orang yang sedang ia pantau misalnya. "Apa aku harus tertawa? Apa itu gurauan?"
"Terserah." Taeyong berusaha menggerakkan lengannya namun gerakan itu menimbulkan rasa sakit yang menusuk, membara di sepanjang tulang belikatnya dan juga punggung. "Aku tidak mengontrol mulutmu. Kau bisa bilang itu 'lelucon' tapi kau sok pintar dan memilih kata 'gurauan' saat aku baru saja bangun tidur." Matanya berputar keras. "Selamat siang, benar."
"Tentang—"
Taeyong mengangkat tangannya. "Kau hanya boleh bicara bahasa medis, setidaknya itu cocok denganmu."
Sikap kasarnya tidak membuat dokter itu menyerah, ia membenarkan letak kacamata yang sedikit turun dari batang hidungnya. "Aku tidak perlu memberitahumu tentang lukamu. Aku akan menyuruh Risa membersihkannya nanti."
Mata biru menatap Jaejoong. "Oh ya, tentang jalang itu—"
"Itu sangat tidak sopan, kau tahu?" Kepala Jaejoong dimiringkan, seperti bicara dengan anak kecil. Tingkahnya membuat Taeyong semakin dan semakin kesal tapi ia berusaha tenang; ia sudah membuat kekacauan kemarin malam dan jika ia mengamuk lagi, akan semakin susah untuk bersembunyi.
"Aku berhak, oke? Apa kau tahu sudah berapa kali dia mencoba mengambil kesempatan untuk merayuku?" Dokter itu menggelengkan kepalanya. Taeyong tertawa penuh sarkasme. "Tidak tahu? Sudah kuduga. Tidak mengalaminya, maka jangan beropini. Omong-omong," Mereka mendengar pintu kamar mandi di balik dinding berderit terbuka, namun mereka tidak peduli. "Aku bisa membersihkan lukaku sendiri. Kalau tangan kalian menyentuhku lagi aku akan memotongnya." Taeyong melakukan gerakan menggigit, memamerkan deretan giginya pada Jaejoong. "Lihat? Taringku berkualitas tinggi. Jangan coba-coba." Matanya menantang, berbanding terbalik dengan ucapannya.
Kemudian wanita Jepang itu muncul dengan pakaian bersih — kemeja sederhana dan rok yang berhenti di atas lututnya, sangat jauh berbeda dengan pakaian sehari-harinya di Markas Besar — ia baru saja selesai mandi.
Taeyong menatapnya hampa.
"Oh, kau sudah bangun!"
Ia sangat berisik hingga Taeyong merasa marah. Ia marah. Namun wanita itu sangat gigih sampai ia tidak bisa lebih marah daripada ini.
"Ya," Taeyong menjawabnya acuh. "Aku tidak tahu itu." Melihat ke bawah, ia baru menyadari kalau ia mengenakan pakaian yang bukan miliknya. Matanya terarah pada wajah dokter itu, terbelalak.
"Aku akan mengganti perbannya, Jaejoong."
"Lakukanlah."
Taeyong melihat ke arah mereka berdua. "Kalian sudah saling memanggil nama depan*? Oke. Apa kalian tidur bersama?" Ia terdengar santai, seolah-olah pertanyaannya adalah pertanyaan biasa, seperti bertanya pada dua orang itu apakah mereka melakukannya setiap hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)
Mystery / ThrillerRed Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya dan membuktikan pada yang lain bahwa ia mampu memimpin organisasi kelas dua - meski itu berarti ia ha...