Part 11

1K 153 0
                                    

Sederet ketukan di pintu membangunkan mereka dari tidur yang sama sekali tidak nyenyak. Yuta melompat dari kasurnya dan membuka pintu dalam hitungan detik, matanya melebar mendapati ekspresi kagum di wajah Jaehyun.

"Apa?"

Jaehyun menunjuk rambutnya. "Seperti sarang burung. Dan kenapa kau terlihat sangat panik?"

Pria Jepang itu merengut, merapikan rambutnya. "Apa kita hanya punya lima menit untuk bersiap-siap juga di sini?"

Itu membuatnya mendengus, menyangkal pertanyaan Yuta. "Invictus tidak punya nonsens macam itu. Tapi ayahku juga sangat tepat waktu. Rapat dimulai lima belas menit lagi. Semoga itu cukup untuk kalian mandi dan—" Jaehyun menekuk wajahnya, berpikir. "Menghilangkan sisa kantuk dari wajah kalian. Oke? Lima belas menit itu sebuah anugerah."

"Oke. Di mana kamar mandinya?"

Jaehyun menunjuk ke arah ujung koridor sebelum mengetuk pintu kamar anggota lainnya. Johnny segera keluar dengan baju yang sudah terganti. Pemegang kartu Silver itu menyeringai pada Jaehyun, mengingat percakapan singkat mereka mengenai larangan untuk berbuat intim di depan umum. Red Phoenix mungkin membebaskan mereka untuk hal itu, namun tidak di Invictus.

Ten dan Johnny harus lebih berhati-hati dan kreatif dalam menyembunyikan hubungan mereka mulai sekarang.

Ia hendak berbalik badan dan kembali ke ruang rapat ketika si perawat berambut hitam mengintip dari balik kamar Johnny, menangkap tatapan bingung Jaehyun.

"Uh..."

Jaehyun menggeleng, menggeram. "Tolonglah. Aku tidak mau bertanya apa yang kalian lakukan. Tapi ke depannya jangan lagi. Lima belas menit untuk kalian berdua!"

Di perjalanan ia bertemu Sicheng yang sudah bangun lebih awal darinya, sedang memakan roti lapis dengan Doyoung di belakangnya.

"Bolehkah kita membawa makanan ke kantor?"

"Boleh. Ayo, kita tunggu di ruangan."

Memindai kartu identifikasi lamanya, pintu terbuka dari dalam dan Jaehyun memimpin dua temannya. Ia mengingatkan penjaga untuk mengizinkan anggota baru Invictus lainnya untuk masuk, memberi mereka nama-namanya sebelum menunjukkan kursi pada Doyoung dan Sicheng.

"Ayah sangat spesifik tentang pengaturan tempat duduk. Jadi jika kau harus ke ruangan ini lagi nanti, kau sudah tahu tempatmu, dan Ayah tahu di mana dia harus mencarimu."

Potongan roti lapis terakhir menghilang di mulut Winwin dan dia mengunyah pelan, melihat kursi putar di ujung meja. "Ini mengingatkanku pada konferensi misi sebelumnya di Red Phoenix." Matanya mengamati sekeliling ruangan, menggangguk pada teknologi dan keamanan mutakhir di dalamnya.

Ruang konferensi utamanya lebih kecil dibanding Red Phoenix. Keduanya memiliki fungsi serupa — untuk rapat darurat dan pembicaraan penting dengan para petinggi. Layar besar terpasang di dinding, sekarang dalam keadaan mati.

Doyoung meremas pembungkus roti lapisnya dan melemparnya tepat sasaran ke tong sampah di pojok ruangan. "Jadi," Ia memulai dengan lidah yang menjilati saus di sudut bibirnya. "Kita harus menjelaskan isi dari proposal yang kita punya, 'kan? Memberitahu apa yang kita butuhkan, termasuk senjata. Apa kita perlu membawa semua anggota squad ke Prancis?"

"Kurasa begitu." Pintu terbuka, menyambut teman-teman lainnya. Ten tentu saja duduk di sisi Johnny yang duduk di sebelah Doyoung, sedangkan Yuta dengan cepat menuju ke sisi Winwin. Jaehyun memicingkan matanya, terdistraksi dengan adanya sesuatu di antara mereka berdua yang belum bisa ia pecahkan. "Siapa yang tahu apa yang akan terjadi saat kita mencari Garnet? Aku lebih percaya kalian dibanding orang lain di sini, walaupun aku sudah lebih lama di Invictus. Orang-orang di sini," Dengan mengangkat bahunya saat seorang penjaga melirik ke arahnya, Jaehyun tak peduli dan melanjutkan bicaranya. "Mereka tidak ramah dan tidak bisa didekati."

[2] What Lies Ahead: Downfall (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang